Kerasanya Perjuangan Hidup……….
dalam perjalanan pulang kekosan diatas motor.
sepanjang perjalanan kramat salemba seringdeh nemuin bapak tua itu berdiri
ditepi jalan bersama plang papannya untuk menyetop setiap mobil yang lewat.
berharap ada mobil berhenti dengan isyarat tangannya. Dan mobil itu mau dicat
duko oleh sibapak. Namun yang bikin kasian sibapak itu uda tua. Kalo ngeliat
sesuatu dengan matanya, matanya itu sering dipicingan mungkin biar jelas kaliyah setiap ngeliat mobil yang lewat.
Kok gak pake kacamatayah, setahu aku kalo mata gak jelas ngeliat terus
dipaksain ngeliat nyampe sering dipicingin gitu jadinya minusnya bakal tambah
gede. Kasian. Terus Kalo tiap hari berdiri di pinggir jalan seperti itu jadi
mikirdeh bakal berapa banyak debu yang akan ia hirup. Terus lagi kalo gak ada
mobil yang berhenti mau dicap duko sama sibapaknya. Artinya sibapak tersebut
enggak dapet uang buat membeli sesuap nasi. Tapi hanya dapet ratusan debu yang
ia hirup.
l
Terima kasih banyak, penghargaan itu untuk kalian
semuanya ^^
Pada
Januari mas Bambang, salah satu asisten produser program Kick Andy Hope yang
pernah meliput saya pada Oktober tahun lalu tiba-tiba memberi kabar bahwa ia
akan memberikan kejutan lagi. Satu minggu kemudian dia memberitahu saya sebuah
kabar berita yang membuat saya bengong, yaitu saya masuk nominasi untuk
penerima salah satu penghargaan Kick Andy saat ulang tahunnya yang ke-6. Saya
hanya bisa menjerit dan bilang “Kagggeeetttt…” tanpa bisa mengutarakan lagi
rasa senang dan tidak menyangka pada tulisan untuk membalas berita dari mas
Bambang.
Mas Bambang adalah lulusan sejarah
Undip angkatan 2005, seumuran dengan Puad. Mas Bambang ini baik sekali, tapi
suka iseng. Isengnya suka ngasih saya kejutan dan bahan becandaan yang membuat
saya nyaman dan menyingkirkan pikiran jelek saya pada orang-orang pemburu
berita dan bekerja di media massa. Saya langsung senang plus begitu melihat dan
mengobrol dengan kru lain Kick Andy. Saya sempat berkomentar sesaat, “Oh,
mungkin karena mereka dari program Kick Andy, makanya bersahaja semua orangnya,
baik-baik, dan menghargai antar-sesama”.
Beberapa hari kemudian, mas Bambang
memberitahu saya lagi bahwa dia tengah memperjuangkan posisi saya dengan
nominasi lain, dan calon-calon nominasi lain dari program Kick Andy selama satu
tahun yang sekategori, saya masuk kategori Young Heroes. Tolong dikoreksi
barangkali saya salah. Dia bilang bahwa dia mengutarakan depan juri-juri
tentang pentingnya belajar aksara kuno dan mempelajari kembali sejarah. Saya
terharu mendengarnya.
Kemudian, satu lagi kejutan yang mas
Bambang berikan pada saya. Yaitu, saya diundang ke acara pemberian penghargaan
itu di Metro tv dan katanya semua nominasi yang berjumlah belasan itu diundang semuanya.
Saya pun nurut. Dan bahkan saya tidak mengharapkan dapat penghargaan itu atau
apa, masuk ke dalam nominasi 3 besar saja, kaget dan tidak menyangka.
Beruntungnya saya diperhatikan oleh mereka (pikir saya). Lewat fesbuk mas
Bambang menghubungi saya dan mengabari saya berita tentang masuk nominasi.
Terakhir, ia memberi link tentang berita itu di website Kick Andy.
Setelah saya melihat isi berita website
itu, hal yang paling membuat saya kaget adalah para juri yang notabene adalah
idola saya semua. Romo Muji, Imam Prasodjo, dan Komarudin Hidayat. Tangan saya
langsung gemetaran ketika membaca nama dan latar belakang mereka. Minder pun
muncul tatkala melihat nominator lain yang hebat-hebat. Orang-orang yang keren.
Saya pun semakin menjauhkan pikiran saya tentang mendapatkan penghargaan
itu. Ah, gak mungkin.
Belasan Februari saya berada di
Perpustakaan Nasional selama 4 hari. Saya kabari mas Bambang dan dia ternyata
ingin menghampiri sambil bawa wartawan Kick Andy magazine untuk wawancara. Saya
meminta mereka datang saja di hari Rabu, ke Perpusnas, karena saya sedang
mendata ulang naskah-naskah kuno koleksi sana.
Mas Bambang pun datang, sambil membawa
bencandaannya yang khas, saya heboh di tempat yang seharusnya sepi. Kang Aditia
karyawan Perpunas juga ikutan nimbrung dan kami mengobrol banyak halngalor-ngidul setelah
wawancara dengan KA magazine yang katanya akan publish Maret
ini. Mas Bambang juga menawarkan saya dan kawan-kawan yang menemani ke
Perpusnas untuk nonton program KA langsung di studio Metro tv. Wah, saya senang
sekali bisa dapat kesempatan itu, apalagi sepulang dari sana saya bawa banyak
oleh-oleh. Buku, dan lainnya. Episode yang saya tonton itu tentang film 5
Menara.
Tanggal 25 Februari saya disuruh datang
kembali oleh teman-teman KA, saya mendapat undangan dari mereka. Sayangnya
ketika ingin membawa teman-teman kelas Aksakun ke Jakarta, ternyata kuota
undangan dibatasi sampai 3 orang. Entah kebetulan atau tidak, saya memang
betul-betul tidak punya uang untuk berangkat ke Jakarta sekalipun. Laptop saya
digadaikan di Pegadaian resmi untuk uang bulanan saya bulan Februari. Pada saat
Sabtu itu tanggal 25 Februari saya bingung, sementara mas Bambang bilang bahwa
ongkos akan diganti dari Metro nanti. Akhirnya saya mendapatkan ongkos dari ibunya
Puad (karena Puad yang ingin menemani saya), dan dari kawan dekat saya kang
Gigi.
Saya pun bisa berangkat ke Jakarta
dengan kereta. Kenapa memilih kereta? Karena saya dan Puad ingin menikmati
perjalanan romantis. Pemandangan dan suasana naik kereta itu jauh lebih
romantis dan menyenangkan daripada lewat tol Cipularang. Sesampainya di Gambir,
adik saya pun mengirim saya uang untuk menambah-nambah ongkos pergi. Hehehe,
saya betul-betul tidak punya uang saat itu, karena biasanya saya mendapatkan
uang bulanan dari Wanus dan Penerbit Ombak, tapi entah kenapa mereka kompak
menghentikan itu pada bulan Januari. Sepertinya ada yang salah dengan saya
sehingga mereka berhenti memberi saya funding bulanan. Tidak apa, pikir saya.
Pelajaran pertama saya tentang pemasukan keuangan bulanan saya. Oneday, saya
akan bekerja dan mengabdi pada sebuah pekerjaan yang memang saya akan lakukan
dan nyaman buat saya. Kalau ke Penerbit Ombak, saya yang meminta untuk tidak
dikirim mulai bulan ini. Saya masih bisa terus melangkah ke depan kok, sambil
senyum-senyum sendiri.
Sesampainya di studio Metro tv saya
kaget banyak sekali foto-foto yang dipajang di sana. Termasuk wajah saya yang
kebetulan sedang memegang laptop. Saya rindu laptop itu, laptop kesayangan
saya, teman tidur saya. Saya pun menangis depan bingkai foto yang ada wajah
sayanya bukan karna ada foto saya di gedung Metro tv ini tapi karna saya rindu
dengan laptop saya. Ia bagaikan sebelah jiwa saya. Ketika dijauhkan seperti ini
rasanya seperti kehilangan. Saya juga pernah menggadaikan laptop saya dulu
tahun 2009 untuk membayar uang kuliah semesteran di pascasarjana.
Di lobby bawah gedung
depan tempat acara KA Awards diadakan, saya berkeliling dan sempat foto-foto dired
carpet (atas suruhan mas Bambang, sambil disuruh menunggu). Saya dan
Puad senyum-senyum sendiri saat kami foto di depan foto saya yang besar. Saya
becanda sama Puad, maaf ya, maklum saya kan dari desa, suka pengen difoto di
tempat begini, apalagi depan muka saya sendiri, apalagi beneran ada karpet
merahnya juga seperti yang mas Bambang bilang akan disambut dengan red
carpet. Dasar ya.
Anehnya, saya melihat ada tempelan
double-tip di bawah nama saya, saat saya buka ada tulisan Young Heroes. Jantung
saya langsung, deg. Kok ditulis ini? Saya perhatikan foto-foto
lain, khususnya 2 nominator yang sekategori dengan saya tidak ada
double-tip-nya. Saya punya firasat buruk sama mas Bambang, bahwa dia mau ngasih
saya kejutan lagi. Dikasih kejutan kok malah difirasati buruk sih? Soalnya mas
Bambang itu pernah buat saya nangis saking kagetnya gara-gara syuting KA Hope.
Saya sampai terbata-bata dan tidak bisa ngomong di depan orang banyak, apalagi
bang Andy F. Noya sendiri. Itu kan menyebalkan (bukan dalam arti yang
sebenarnya), sudah bikin saya kikuk, gemetaran, tak ada persiapan, dan
sebagainya. Firasat buruk di sini dalam arti yang konotatif loh ya,
bukan suudzon.
Hal yang aneh lagi adalah saya disuruh
berdandan, diajak ke ruang tatarias dan saya langsung dikerjakan oleh dua orang
yang selalu bertanya, saya ini siapa? Saya jawab, saya tidak
tahu siapa saya, dan sebagai apa di sini. Dua perempuan yang menghias saya pun
ragu-ragu dan bingung. Hihihihi. Saya senyum-senyum saja plus
mewanti-wanti, “Mbak jangan tebal-tebal dong mbak. Please.” Tapi dibalas dengan
saya dinasehati kalau sebaiknya diam saja karena kalau di depan layar kaca itu
muka berdandan akan terlihat biasa saja. Saya pun ngikut saja. Karena saya
dikepung dan tidak bisa kabur dijaga juga sama beberapa karyawan KA. Puad
tertawa puas melihat hasil dandanan saya. Saya semakin malu dan canggung berada
di depan banyak orang dengan tampilan seperti ini.
Posisi duduk saya pun diatur sedemikian
rupa bersama nominator yang lain. Awalnya saya duduk santai saja. Tapi
lama-lama kok ada hal aneh lagi. Kalau memang benar kata mas Bambang itu semua
nominasi diundang. Saya menghitung orang-orang yang didandani juga. Kok hanya 7
orang ya? Kan harusnya belasan. Mampus aku, masa sih aku harus ke depan
panggung. Di depan banyak orang yang saya hapal muka-muka mereka dari layar
kaca. Duh, jantung saya makin deg-degan. Saya perhatikan satu persatu penonton
yang ada: A. Fuadi, Andrea Hirata, Adnan Buyung Nasution, 3 juri yang saya
takuti plus kagumi, Yayang C. Noer, Anies Baswedan, pemilik Mustika Ratu, dan
sebagian besar mungkin pengusaha-pengusaha dan undangan khusus acara KA ini.
Saya semakin gugup berada di tempat seperti ini. Tidak biasa.
Acara pun di mulai, satu persatu
orang-orang yang duduk di dekat saya dipanggil satu-satu dan diberi
penghargaan. Pertama Chanee dari Perancis, terakhir kang Dadang dari
Tasikmalaya, posisi kang Dadang di sebelah Puad. Jantung saya semakin bedegup
kencang. Ditambah lagi ada salah satu pengatur acara menghampiri saya dan
berbisik, “Nanti jarak mik-nya satu jengkal ya.” Hah, kenapa kasih tahu saya?
Memangnya saya bakal maju ke depan. Orang itu dengan muka serius bilang, “Ya,
kamu maju ke panggung”. Mampus, mampus, saya memaki dalam hati. Tapi ada
kagetnya juga, wah, masa? Aduh, gila. Aduh. Mas Bambang pun sukses membuat saya
menjadi seperti ini lagi. Blank untuk yang kedua kalinya.
Anies Baswenda pun tampil di panggung
dan mempersilahkan yang hadir melihat video dan menyebut nama saya. Jantung
saya seperti berhenti, dan mata saya berkaca-kaca melihat video itu. Perasaan
yang sama ketika melihat liputan Oasis dan KA Hope tahun lalu kembali merasuk
jiwa saya. Saya tersenyum lebar dan gugup sepanjang perjalanan menuju panggung,
ketika pak Anies memanggil nama saya. Seolah-olah ketika saya berjalan, ribuan
mata sedang menatap saya, memperhatikan saya. Saya betul-betul mau pingsan.
Saya gugup. Gemetar, sakit perut, mules, mata berkunang-kunang. Pokoknya saya
mau kabur dan lari ke gunung untuk menyendiri.
Setelah menerima simbol penghargaan
dari KA Heroes dengan kategori Young Heroes dari tangan pak Anies langsung
menambah saya bingung, kikuk, malu tapi bersyukur dan senang, dan blank. Saya
bingung mau ngomong apa. Mas Bambang sukses buat saya begini lagi. No. Saya pun
berusaha sekali mengucapkan beberapa kata, yang saya tidak tahu itu nyambung
atau tidak. Dan tidak berani menatap mata-mata yang ada di depan saya. Kecuali
yang saya bisa saya lakukan adalah pada saat ketemu mata bang Andy, senyum saya
lebar sekali, ditambah dengan acungan jempolnya. Saya merasa ada ketenangan di
sana, yang diberikan bang Andy. Mata para juri yang terus menatap saya.
Betul-betul mirip kondisi ketika ditodong dengan senjata. Tidak bisa bergerak
sedikitpun. Kira-kira rasanya seperti itu. Berkali-kali saya mengucapkan terima
kasih yang diberikan untuk semuanya, saya tidak sanggup menyebutkan nama
satu-per-satu, orang-per-orang, karena saya betul-betul tidak sanggup berbicara
banyak. Gagap.
Hal yang paling banyak saya lakukan
adalah senyum, banyak senyum, berbicara hanya 3 kalimat, paling banyak
mengucapkan terima kasih kepada semuanya. Semua yang telah membantu saya sampai
ada di sini. Kepada penyakit saya yang saya anggap musibah lalu saya sadar
bahwa itu merupakan anugerah (kalimat ini yang saya sesali kenapa tidak
selesai, harusnya merupakan anugerah yang membuat saya sadar bahwa hidup ini
bermakna setelah mengingat kematian). Saya seperti orang yang mau pingsan
mungkin dilihat oleh banyak orang.
Saya ingin cepat-cepat turun dan
kembali duduk di posisi saya. Sambil membawa semacam “piala” simbol penghargaan
yang berat itu, saya berjalan menunduk dan terus tersenyum, seolah tidak ada
keberanian untuk menatap balik mata-mata itu. Saat duduk saya menghela napas
panjang sekali. Lega. Dan hal yang membuat saya kembali riang dan berwarna lagi
ketika disuruh ke depan semua penerima penghargaan disambut jatuhnya bintang
warna-warni (kertas-kertas) dan balon. Ya, balon. Saya senang sekali ada balon
di sana. Banyak lagi. Rasanya saya adalah makhluk paling ceria dan beruntung di
dunia ini. Saya menerima ucapan harapan agar terus bersemangat dengan melakukan
apa yang sudah saya lakukan lewat orang-orang yang menyalami saya. Bahkan pak
Komarudin memanggil nama saya untuk mengajak salaman saat saya sedang asyik
melihat jatuhnya balon-balon itu. Saya canggung plus senyum lebar saat pak Imam
meminta foto bareng. Duh, malu.
Setelah acara selesai kami dipertemukan
dengan ketiga juri dan bang Andy yang khusus mengucapkan selamat dan mengobrol
banyak hal. Bertanya satu persatu-satu dari kami. Saling memfoto dan saya sibuk
menenangkan diri saya. Senyum, bengong, kagum pada yang lain apalagi dengan
juri-juri. Tidak pernah menyangka sebelumnya saya akan berada di sini saat itu.
Saya ingin menarik Puad untuk mengajak bersama-sama bengong dan mengagumi semua
orang di sini. Saya canggung sekali menjawab pertanyaan-pertanyaan pak Imam dan
Romo Muji. Duh, malu. Saya kadang suka menyesal setelahnya kenapa sih diam
saja, kenapa tidak banyak omong? Tapi saya selalu berusaha memaklumi sikap saya
yang kaku dan canggung terhadap orang baru apalagi orang yang saya idolakan.
Saya menjaga jarak sekali, entah kenapa. Tapi saya berusaha untuk berusaha
rileks dan santai. Juga tidak menjengkelkan. Mudah-mudahan.
Setelah berkumpul di ruangan tersebut,
satu persatu kami pamit dan saling bersalaman. Waktunya pulang, tapi saya
seperti terus menampar diri kok seperti mimpi, ayo sadar Sinta! This is
a real-life. Saya pun akhirnya meninggalkan gedung yang memberi saya
kenang-kenangan hidup yang luar biasa besarnya dalam hidup saya. Saya pun ikut
numpang kendaraan Ginan ke arah Bandung. Keberuntungan yang lain, bisa pulang
langsung ke Bandung (sebelumnya saya dan Puad bingung mau pulang naik apa,
karena jadwal kereta sudah tidak mungkin dengan pulang jam 10, plus travel juga
belum tentu ada). Beruntung sekali ketika saya bertanya pada Ginan naik apa,
dan dia menjawab bawa kendaraan sendiri. Duh. Saya pun sedikit malu-malu
meminta ikut bareng nanti pulangnya.
***
Selama perjalanan Jakarta-Bandung,
melewati Cipularang sekitar jam 11 malam. Saya duduk di jok belakang, posisi
saya sengaja berada di tengah. Agar bisa berhadapan langsung dengan jalan malam
yang diberi cahaya oleh lampu kota dan lampu jalan. Sebuah perjalanan lurus dan
panjang yang saya anggap sangat tepat untuk merenung dan bersyukur. Maka saya
pun melakukan sebuah ritual. Yaitu merenung pada sebuah perjalanan. Merenungi
apa yang telah terjadi selama satu hari ini.
Selama perjalanan panjang dan gelap
itu, ditemani rintik-rintik hujan, Ginan yang tidur di jok depan, saudaranya
Ginan yang serius dan fokus menyetir, dan Puad yang senyum-senyum sambil merem-merem
ayam. Saya ditemani mereka semua, langit, hujan, lampu, cahaya.
Seolah-olah perjalanan saya ini menuju ke sebuah titik cahaya. Semacam flash-back,
mengingat apa yang sudah saya lakukan apa sudah betul? Apa saya masih kurang
memperhatikan hidup saya? Apa saya ini itu dan sebagainya. Satu sisi saya
menyesal tidak sempat mengucapkan terima kasih kepada siapapun. Bukan, bukan
tidak sempat. Tapi saking gugup dan jantung saya berdegup kencang sekali seolah
terdengar oleh mikrofon dan memberitahu bunyi jantung saya kepada yang hadir
kala itu. Rasanya seperti itu. Saya memang tidak cocok jadi vokalis band ^^
Mungkin di sinilah tempatnya, di kertas
ini, saya harus menulis semua yang ingin katakan pada saat di atas panggung itu
namun tidak sampai saya ucapkan. Saya hanya bisa mengetikkan perasaan saya,
saya tidak sanggup berkata banyak, mohon maklum. Saya sangat bersyukur diberi
sebuah penghargaan kategori Young Hero, padahal saya sudah tidak muda lagi.
Tapi saya berharap pemuda dan pemudi Nusantara di sini dapat menerima bahwa
yang diberikan pada saya sebuah “penghargaan ini” merupakan penghargaan untuk
kalian semua wahai penerus bangsa yang memiliki semangat dan rasa kasih sayang
antar makhluk hidup. Saya juga tidak lupa berterima pada Penguasa Alam Semesta,
Bapak di langit, dan Ibu di bumi. Tanpa kalian saya tidak mungkin ada.
Sama seperti Ginan, saya mengucapkan
terima kasih untuk diri sendiri yang sudah mau melawan rasa sakit dan kata-kata
menyerah. Tidak lupa kepada kelas Aksara Kuno, teman-teman yang mau datang dan
belajar bersama, teman-teman yang tulus datang dan tersenyum demi Aksakun ini
sejak 2009 hingga sekarang. Tanpa kalian saya juga tidak akan ada, untuk semua
yang sudah membantu keberlangsungan kelas ini, pak yayasan dan GIM (tempat
belajar), kepala sekolah, teman-teman. Puad yang selalu menemani saya,
berdiskusi hal apapun, yang suka menyoraki saya dengan perlengkapan pom-pom
boys dan kata-kata yang menyemangati hidup saya dan kembali menjadi diri yang
tidak ringkih. Terima kasih atas cinta yang tulus.
Kemudian bu Titin dosen filologi Unpad
dan kawan-kawan yang sudah bersusah payah membantu saya agar bisa lulus (tidak
dikeluarkan) dari program pascasarjana ini, Bilven, Ilham Aidit, Andi Daging,
Gigi dan kang Zimbot, pak Dekan, pak Ganjar Kurnia, bu Elli, kang Godi Suwarna,
Ahda Imran, dan lainnya yang berjuang untuk tetap mempertahankan cita-cita saya
menjadi seorang filologi yang sebenarnya. Saya sangat berhutang sekali pada
kalian semua. Juga kepada om Heru yang sayang sekali kita belum sempat saling
mengenal satu sama lain, dan memahami satu sama lain. Terima kasih atas
bantuannya selama ini. Juga teman-teman di komunitas Ujungberung Rebel yang
beberapa orang selalu berada di samping saya saat saya berkreasi dan menjalani
kelas Aksakun: kang Wisnu, Kimung, Man Jasad, dan lainnya. Terima kasih. Juga
kepada Penerbit Ombak dan bang Nursam yang sudah mau mencetak buku Berteman
Dengan Kematian pada 2010 dan hingga tahun ini sudah masuk cetakan ketiga,
semoga bisa cetak sampai puluhan kali, biar saya bisa beli sawah dan kebun.
Tidak lupa juga kepada yang sudah sudi membeli buku BDK, terima kasih sudah mau
membacanya, meluangkan waktu dan uang untuk buku BDK ini, terima kasih sudah
membuatnya menjadi buku best seller.
***
Young Hero adalah penghargaan untuk
kategori pemula, untuk yang muda. Muda, budak anom. Anak kecil yang
tidak mengetahui apa-apa. Harus banyak belajar, dan terus belajar. Saya
mendapatkan ini bukan berarti perjalanan saya sudah selesai, tapi baru mulai.
Ya, saya baru memulai perjalanan, masih banyak hal yang masih saya
cita-citakan, masih berwujud dalam mimpi. Misalnya seperti pendataan naskah dan
aksara kuno se-Nusantara. Jalan saya masih panjang, doakan ya kawan-kawan, agar
saya selalu sehat dan semangat. Terima kasih, penghargaan ini untuk kalian
semua. Kepada Kick Andy, bang Andy F. Noya, para sponsor, mas Bambang dkk,
Metro tv, mbak Rere dan Oasisnya dulu, dan masih banyak lagi, terima kasih
banyak. Terima kasih. Terus menjadi semangat bagi hidup saya.
Kalian semua, teman-teman di Nusantara,
adalah inspirasi saya. Saya bersungguh-sungguh mengucapkan terima kasih atas
kesempatannya, anugerah, dan kepercayaannya. Hal-hal ini akan terus menjaga
semangat saya dan mendukung saya untuk terus dan tetap berkarya. Karya yang
keluar dari hati dan diperuntukkan pada kalian semua, alam semesta, dan negeri
ini.
***
Apabila teman-teman ada yang melihat
tayangan KA Heroes 2012 tadi, sambil memperhatikan baju yang saya pakai. Ya,
yang berwarna pink berenda itu. Pakaian atas yang saya pakai adalah baju ibu
saya. Baju pertama yang diberikan ayah saya ketika mereka berpacaran sekitar
tahun 1983. Baju itu selalu saya pakai pada beberapa momen yang saya anggap
memerlukan kehadiran ibu saya. Tanpa saya sadari baju ini yang lagi-lagi saya
pilih untuk saya pakai pada acara tadi malam. Awalnya saya sudah menyediakan baju
batik yang cantik, tapi saya tanggalkan, dan memilih baju klasik ini. Ibu saya
sempat sms dan bilang, "Baju yang dipakai itu baju mamah yang dikasih
papah dulu ya?"
Baju itu saya ambil di almari ibu,
ketika menemukannya sepasang dengan rok kotak-kotak merah saya langsung ambil,
saya tidak tahu sejarahnya baju itu. Saya ambil karna saya suka bentuknya.
Beberapa kali saya pakai saat bekerja di lembaga pendidikan tahun 2008.
Kemudian untuk yang kesekian kali secara berturut-turut baju itu saya pakai
saat mendaftar ulang kuliah S2 di Unpad sambil foto kartu tanda mahasiswa.
Kemudian saya pakai baju itu saat saya sidang ujian proposal tesis. Saat saya
sedang mempersembahkan usulan penelitian untuk kajian filologi saya. Kemudian
baju ini juga saya pakai saat ujian/sidang akhir Agustus 2011. Dan kalian tahu?
Baju ini juga saya pakai saat difoto untuk foto yang ditempel pada ijasah S2.
Lalu, saya pun kembali pakai baju pink ini tadi malam. Ya, saat menerima
penghargaan tadi. Kenapa? Apa saya tidak punya baju lagi? Tidak-tidak, bukan
itu alasan saya kenapa selalu memakai baju ibu saya itu, yang kebetulan ngepas
di badan saya.
Sama seperti ketika menyentuh
naskah-naskah kuno. Saya, hidup di masa sekarang kenapa harus baca-baca lagi
catatan yang sudah lampau, ratusan tahun lalu. Saya, yang hidup di masa kini
yang menghadapi permasalahan yang sudah pasti ada akarnya/ada titik start-nya.
Kenapa saya ingin memegang-megang naskah? Bukan hitungan akuntasi dan
manajemen, peralatan teknologi yang maju, dan berjalan-jalan di mall? Atau
menjadi pegawai bank? Alasan saya mungkin, saya ingin belajar banyak dari masa
lalu itu. Bukan berarti selalu mengandalkan ilmu masa lalu adalah sesuatu yang
pasti benar. Bukan.
Melainkan, saya ingin merasakan sesuatu
yang kala itu terjadi lewat naskah kuno. Sama seperti yang saya lakukan ketika
memakai baju ibu saya pada momen tertentu. Yaitu ingin merasakan perasaan ibu
dan ayah saya pada waktu itu, tahun 1983, waktu sebelum saya ada itu bagaimana.
Pasti ada yang saya pelajari dari baju ini, bukan sekedar bentuk bajunya yang
kembali nge-trend masa kini, vintage. Tapi saya ingin merasakan ada
kejadian/momen apa yang terjadi ketika baju ini ada di tangan ayah dan ibu
saya. Apa yang terjadi pada waktu itu? Apa yang dilihat oleh baju itu? Dia adalah
saksi mata dari bersatunya ayah dan ibu saya. Ada satu alasan lagi, saya ingin
menghadirkan keduanya, berada di samping saya, di masa-masa tertentu itu.
Serasa dipeluk oleh keduanya saat saya memakai baju itu.
Saya merasakan hal yang sama ketika
sedang menatap naskah-naskah kuno tersebut.
Ujungberung, 11 Maret 2012
Sinrid