Hitam kelam mewajahi hamparan bumi saat Malam.. Sendu rintihan kehidupan kian terdengar.. Hati meringis pilu bagai disayat seribu Sembilu.. Ya Rohman kupanjatkan doaku dalam Malam-Mu.. Terucap hingga mencapai tak hingga asaku Kepada-Mu.. Kupasrahkan dan kuikhlaskan semua kehendakmu asalkan kau Mencintai-Ku...
Rabu, 31 Oktober 2012
Selasa, 30 Oktober 2012
Ukhuwah sejati itu begitu indah
Dari notebook istirahatku sore ini ditemani iringan
instrument mellouw abiss.
Malam
ini ketika berbaring diatas kasur. Handphone yang tergeletak diatas meja tiba
tiba bordering dengan nyaring. Saat kuangkat dari sebrang sana terdengar suara
seorang pria. Ternyata suara akh syukur. Akh syukur mengabariku jika ada
seorang kawan pengajian kami di yisc alazhar sedang dirawat dirumah sakit pelni
petamburan. Insani. Yah katanya insani. Akh syukur mengajakku untuk ikut
menjenguk beliau kerumah sakit tersebut malam ini. Tanpa ada alasan akupun
mengiyakan akan ikut. Akhirnya akh syukur membuat janji untuk bertemu denganku.
Namun ternyata setengah jam kemudian akh syukur kembali menelponku katanya kalau
dia datang menjemputku dikosan sepertinya enggak memungkinkan karena jalan arah
salemba dan tanah abang macet banget. Akhirnya akh syukur tidak jadi menjemputku namun tetap aku
kesana tapi dengan akh shulton. Awalnya akh shulton tidak bisa ikut katanya
malam ini masih ada kerjaan yang mesti ia selesaikan tidak bisa ditunda katanya.
Katanya. Namun akupun mengatakan padanya Woi, taugak jika kita mengunjungi
orang sakit pahalanya gedeloh. Akhirnya dia pun luluh layaknya batu es mencair
diterpa panas matahari. ( gak lebai gitu kok. -_- )
Dari
salemba aku dan shulton langsung berangkat menuju rumah sakit pelni. Tiba
dirumah sakit. Aku berdua langsung keatas keruangan tempat kamar dimana insane
tempati. Pas tiba. Waaa kok sepi. Gak ada anak anak, ketika kami berdua melihat
suasana ruangan. Seorang suster yang tadi kami tanyai ruangan 513a katanya
temennya udah pulang mungkin. Tapi saya gak yakin mereka belum pulang datang
aja belum masa langsung pulang. Ketika kucoba menghubungi akh syukur lewat
ponselku mereka ternyata sudah tiba namun masih ada dibawa dimesjid deket
parkiran. Ketika tahu kami berdua sudah diatas berada didepan ruangan kamar
insane, mereka langsung kaget. Karena kami berdua tiba tiba langsung uda ada
aja di depan ruangannya padahal mereka merasa merekalah yang paling tiba
duluan. Subhanallah, luar biasayah hubungan silaturahmi para sahabat sahabatku
mereka saling berkejar pahala demi mensilaturahmi dan mengunjungi sahabat
sahabatnya ketika dirawat dirumah sakit.
Saa terharu merasakan ikatan ukhuwah para sahabat sahabat pengajianku
ini. Ketika diantara kita ada satu tubuh yang terluka maka semua tubuhnya akan
merasakan sakit. Begitulah gambaran jalinan ukhuwah yang tumbuh dalam dada
kami, semoga selalu terjaga selalu. Amin. Karena menunggu lama kawan kawan yang
masih dibawah shulton pun mendesakku
agar masuk aja. Tapi aku bilang sebentar
lagi kita tunggu dulu aja anak anak yang dibawah keatas. Benntar lagi mungkin
mereka keatas. Kataku. Namun karena belum juga muncul kami menunggunya lagi.
Sembari menunggu dan shulton yang sedang sibuk memainkan jemarinya dituts
bbnya. Kuperhatikan ada seorang ibu ibu yang sudah tua didorong oleh seorang
suster diatas kursi roda. Ibu ini lewat dihadapan kami. Kulihat kaki kanan ibu dibalut
perban dari ujung kaki hingga ujung pahanya. Dalam hati aku langsung bertanya
ibu ini sakit apayah kasian. Kemana anak anaknya yang mengurusinya. Melihat ibu
itu jadi aku jadi tiba tiba terdiam dalam Tanya. Dalam diamku hati dan
pikiranku menjadi merenung. Melihat ibu itu yang didorong diatas kursi roda dan
insane yang sedang tergeltak diatas kasur karena sakit yang mendera kepalanya.
Renungan itu sangat mengena dalam setip sendi kehidupan kita. Betapa
berharganya sebuah usia dan kesehatan yang dititipkan oleh allah kepada kita.
Pergunakanlah masa sehatmu sebelum datang masa sakitmu. Pergunakanlah masa mudamu
sebelum masa tua menyapamu.
Karena
sulton trus mendesak akhirnya kami masuk keruangan insani dengan membuka pintu
pelan dan berjalan mengendap endap agar suara sepatu kaki kami. Sebentar saya
melongo dikedua tempat tidur yang masing2 dibatasi tirai. Namun belum sempat
aku menemukan wajah insani aku langsung berkata pada sulton. Akh bbmin dulu aja biar dia tahu.
Takutnya ketika kita ketemu muka dengannya secara tiba2 dia tidak mengenakan
hijab. Aku pernah dengar. Mungkin dia bisa kaget dan terbelalak menjerit. Enggak
tau deh kaya gimana tuh ekspresi. Aku jadi mikir kita berdua ini udah kaya mau
maling diruangan rawat insane ini. Jalannya aja nyampe mengendap endap seperti
ini biar ketukan sepatu kami tidak terbentur keramik lantai. Namun yang menjadi
pertanyaanku diruangan ini apa yang mau kami malingin misalnya jika kami berdua
memang bener bener niat jadi maling. Misalnyaloh gak sebenernya. Malingin apayah
mungkin malingin hatinya insani kaliyah, tapi apakah dapat dibagi dua. Hem hem.
Jadi ngawur banged deh jadinya. Seorang akhwat yang biasanya mengenakan
kerudung lalu ketika tanpa sengaja seorang pria yang bukan muhrimnya
menemukannya tidak mengenakan kerudung ato hijab sang akhwat akan merasa ia
sama saja telah ditelanjangi didpan pria tersebut. Betapa tidak. Kepala yang
selama ini dianugrahi rambut sebagai mahkota terindah dari seorang wanita yang
selama ini telah lama ia baluti dengan hijab agar tak ada yang boleh
memandangnya kecuali sang muhrimnya saja. Kenapa seorang wanita diperintahkan
agar ia membalut setiap tubuhnya dengan kain kecuali telapak tangan dan
wajahnya aga
Agar ia dapat dijual mahal dimata orang yang melihatnya. Kenapa berlian berkilauan sinar terpancar dari tiap sisinya. Karena ia terbungkus oleh tanah dan tak pernah tersentuh oleh tangan tangan manusia.
Kenapa mutiara begitu mempesona karna terpendam dibawah lautan dalam. Waduh obrolan saya dalam tulisan ini sudah semakin jauh dari judul tulisan.
Eniwei, kita balik ke judul tulisan ini. Sulton membbmin insani. Kata insani lewat bbm sulton langsung masuk aja kalimat yang diperlihatkan sulton kesaya dilayar bbmnya. Kamipun kemudian kembali masuk keruangan dan mendekat ke ujung ranjang insan i terbaring. Walaupun terbaring dengan kepala yang berdenyut dan tangan yang terjulur diatas seprei putih dan sebuah infusan terpasang ditangan kanannya. Bibirnya tak henti tersenyum menyambut kami dengan penuh keceriaan. Sultonpun membalas senyuman yang tak kalah manis ke arah insani. Sejenak aku memandangi punggung tangan insani yang bengkak dengan tonjolan seperti bulatan kelereng posisi dimana suntikan infus ditancapkan. Kasian. Pasti sakit banget rasanya. Pantas saja insani tak mau banyak gerak karena jika gerak sedikit saja sakit yang terasa dipunggung tangan kanannya nyerinya akan menjalar. Tapi ketika tadi baru masuk keruangannya insani agak malu malu gitu dan langsung menarik selimut dan menutupi wajahnya. He. Aaaa aam. Jadi repot repot dateng. Katanya.
Agar ia dapat dijual mahal dimata orang yang melihatnya. Kenapa berlian berkilauan sinar terpancar dari tiap sisinya. Karena ia terbungkus oleh tanah dan tak pernah tersentuh oleh tangan tangan manusia.
Kenapa mutiara begitu mempesona karna terpendam dibawah lautan dalam. Waduh obrolan saya dalam tulisan ini sudah semakin jauh dari judul tulisan.
Eniwei, kita balik ke judul tulisan ini. Sulton membbmin insani. Kata insani lewat bbm sulton langsung masuk aja kalimat yang diperlihatkan sulton kesaya dilayar bbmnya. Kamipun kemudian kembali masuk keruangan dan mendekat ke ujung ranjang insan i terbaring. Walaupun terbaring dengan kepala yang berdenyut dan tangan yang terjulur diatas seprei putih dan sebuah infusan terpasang ditangan kanannya. Bibirnya tak henti tersenyum menyambut kami dengan penuh keceriaan. Sultonpun membalas senyuman yang tak kalah manis ke arah insani. Sejenak aku memandangi punggung tangan insani yang bengkak dengan tonjolan seperti bulatan kelereng posisi dimana suntikan infus ditancapkan. Kasian. Pasti sakit banget rasanya. Pantas saja insani tak mau banyak gerak karena jika gerak sedikit saja sakit yang terasa dipunggung tangan kanannya nyerinya akan menjalar. Tapi ketika tadi baru masuk keruangannya insani agak malu malu gitu dan langsung menarik selimut dan menutupi wajahnya. He. Aaaa aam. Jadi repot repot dateng. Katanya.
Hampir
sepuluh menit kami ngobrol bertiga tiba tiba dari depan pintu muncullah hufron
membuka pintu pertama kali lalu disusul oleh sahabat sahabat kami yang lain
satu persatu memasuki ruangan hingga ruangan menjadi penuh Hufron, Muri, Ainul,
Rizka, Ana, Syukur, Dimas, Budi, ( satu lagi akhwat saya lupa namanya entah
kenapa beliau memanggil saya dengan apaa gitu saya lupa namanya. Jos cos apa
gitudeh ribet namanya dan akupun sudah lupa) malam ini Sahabat sahabat kami
menyambut insani dengan senyum hangat dan ceria hingga membuat ruangan disini
menjadi gaduh. Rame .Tapi asyik. He. Diseblah insani sebenernya ada lagi satu
pasien yang terbaring seorang ibu ibu. Dalam ruangan ini ada dua ranjang yang
disediakan untuk 2 pasien. Sambil ngobrol ngalor ngidul sebagian sudah siap mengambil
foto. Jeprat jepret terutama akh dimas yang sejak dateng ditangannya udah
stanby kamera. He. Gak jugadeng. Piss akh dimas. He. Selain akh dimas aku juga
sih yang ngikut ngikut ngambil gambar. Kembali aku jadi mikir sebenernya kesini
mau jengukin insane atau narsis narsisan. He. Akh dimas mencoba menjepret
kamera yang ada ditangannya kerarah kami. Namun entah mengapa mungkin karena
mencari posisi yang pas untuk mendapatkan gambar yang baik akh dimaspun
langsung menyingkapkan tirai sebagai pembatas antara tempat insani dan pasien
ibu tersebut. Sepintas pun ibu yang tengah terbaring diatas kasurnya terlihat
oleh beberapa diantara kami yang berdiri dekat pintu. Namun dimaspun langsung
menarik kembali tirai tersebut. He, gara gara mau foto nyampe harus rusuh
gituyag. He. Ketika kami keluar diruangan insani hendak mau pulang beberapa
perawat lewat dihadapan kami. Dari ekspresi wajahnya aku dapat menangkap ada
sebuah pertanyaan yang terlintas dibenaknya ketika memperhatikan kami keluar
dari ruangan insane secara bergerombol. Pertanyaan yang tersembunyi dipikiran
para perawat itu ternyata aku dapat menyingkapnya. Dipikiran mereka pasti
bertanya Tanya. Ini orang orang masuk keruangan pasien rame rame gitu. Itu mau
jengukin orang sakit atau mau tauranyah. He. Mulaideh jadi sotoy soto ayam. He.
Kamis, 18 Oktober 2012
Rabu, 17 Oktober 2012
Bapak tua yang berjuang ngumpulin koin receh demi sesuap nasi.....................
Kerasanya Perjuangan Hidup……….
dalam perjalanan pulang kekosan diatas motor.
sepanjang perjalanan kramat salemba seringdeh nemuin bapak tua itu berdiri
ditepi jalan bersama plang papannya untuk menyetop setiap mobil yang lewat.
berharap ada mobil berhenti dengan isyarat tangannya. Dan mobil itu mau dicat
duko oleh sibapak. Namun yang bikin kasian sibapak itu uda tua. Kalo ngeliat
sesuatu dengan matanya, matanya itu sering dipicingan mungkin biar jelas kaliyah setiap ngeliat mobil yang lewat.
Kok gak pake kacamatayah, setahu aku kalo mata gak jelas ngeliat terus
dipaksain ngeliat nyampe sering dipicingin gitu jadinya minusnya bakal tambah
gede. Kasian. Terus Kalo tiap hari berdiri di pinggir jalan seperti itu jadi
mikirdeh bakal berapa banyak debu yang akan ia hirup. Terus lagi kalo gak ada
mobil yang berhenti mau dicap duko sama sibapaknya. Artinya sibapak tersebut
enggak dapet uang buat membeli sesuap nasi. Tapi hanya dapet ratusan debu yang
ia hirup.
l
Terima kasih banyak, penghargaan itu untuk kalian
semuanya ^^
Pada
Januari mas Bambang, salah satu asisten produser program Kick Andy Hope yang
pernah meliput saya pada Oktober tahun lalu tiba-tiba memberi kabar bahwa ia
akan memberikan kejutan lagi. Satu minggu kemudian dia memberitahu saya sebuah
kabar berita yang membuat saya bengong, yaitu saya masuk nominasi untuk
penerima salah satu penghargaan Kick Andy saat ulang tahunnya yang ke-6. Saya
hanya bisa menjerit dan bilang “Kagggeeetttt…” tanpa bisa mengutarakan lagi
rasa senang dan tidak menyangka pada tulisan untuk membalas berita dari mas
Bambang.
Mas Bambang adalah lulusan sejarah
Undip angkatan 2005, seumuran dengan Puad. Mas Bambang ini baik sekali, tapi
suka iseng. Isengnya suka ngasih saya kejutan dan bahan becandaan yang membuat
saya nyaman dan menyingkirkan pikiran jelek saya pada orang-orang pemburu
berita dan bekerja di media massa. Saya langsung senang plus begitu melihat dan
mengobrol dengan kru lain Kick Andy. Saya sempat berkomentar sesaat, “Oh,
mungkin karena mereka dari program Kick Andy, makanya bersahaja semua orangnya,
baik-baik, dan menghargai antar-sesama”.
Beberapa hari kemudian, mas Bambang
memberitahu saya lagi bahwa dia tengah memperjuangkan posisi saya dengan
nominasi lain, dan calon-calon nominasi lain dari program Kick Andy selama satu
tahun yang sekategori, saya masuk kategori Young Heroes. Tolong dikoreksi
barangkali saya salah. Dia bilang bahwa dia mengutarakan depan juri-juri
tentang pentingnya belajar aksara kuno dan mempelajari kembali sejarah. Saya
terharu mendengarnya.
Kemudian, satu lagi kejutan yang mas
Bambang berikan pada saya. Yaitu, saya diundang ke acara pemberian penghargaan
itu di Metro tv dan katanya semua nominasi yang berjumlah belasan itu diundang semuanya.
Saya pun nurut. Dan bahkan saya tidak mengharapkan dapat penghargaan itu atau
apa, masuk ke dalam nominasi 3 besar saja, kaget dan tidak menyangka.
Beruntungnya saya diperhatikan oleh mereka (pikir saya). Lewat fesbuk mas
Bambang menghubungi saya dan mengabari saya berita tentang masuk nominasi.
Terakhir, ia memberi link tentang berita itu di website Kick Andy.
Setelah saya melihat isi berita website
itu, hal yang paling membuat saya kaget adalah para juri yang notabene adalah
idola saya semua. Romo Muji, Imam Prasodjo, dan Komarudin Hidayat. Tangan saya
langsung gemetaran ketika membaca nama dan latar belakang mereka. Minder pun
muncul tatkala melihat nominator lain yang hebat-hebat. Orang-orang yang keren.
Saya pun semakin menjauhkan pikiran saya tentang mendapatkan penghargaan
itu. Ah, gak mungkin.
Belasan Februari saya berada di
Perpustakaan Nasional selama 4 hari. Saya kabari mas Bambang dan dia ternyata
ingin menghampiri sambil bawa wartawan Kick Andy magazine untuk wawancara. Saya
meminta mereka datang saja di hari Rabu, ke Perpusnas, karena saya sedang
mendata ulang naskah-naskah kuno koleksi sana.
Mas Bambang pun datang, sambil membawa
bencandaannya yang khas, saya heboh di tempat yang seharusnya sepi. Kang Aditia
karyawan Perpunas juga ikutan nimbrung dan kami mengobrol banyak halngalor-ngidul setelah
wawancara dengan KA magazine yang katanya akan publish Maret
ini. Mas Bambang juga menawarkan saya dan kawan-kawan yang menemani ke
Perpusnas untuk nonton program KA langsung di studio Metro tv. Wah, saya senang
sekali bisa dapat kesempatan itu, apalagi sepulang dari sana saya bawa banyak
oleh-oleh. Buku, dan lainnya. Episode yang saya tonton itu tentang film 5
Menara.
Tanggal 25 Februari saya disuruh datang
kembali oleh teman-teman KA, saya mendapat undangan dari mereka. Sayangnya
ketika ingin membawa teman-teman kelas Aksakun ke Jakarta, ternyata kuota
undangan dibatasi sampai 3 orang. Entah kebetulan atau tidak, saya memang
betul-betul tidak punya uang untuk berangkat ke Jakarta sekalipun. Laptop saya
digadaikan di Pegadaian resmi untuk uang bulanan saya bulan Februari. Pada saat
Sabtu itu tanggal 25 Februari saya bingung, sementara mas Bambang bilang bahwa
ongkos akan diganti dari Metro nanti. Akhirnya saya mendapatkan ongkos dari ibunya
Puad (karena Puad yang ingin menemani saya), dan dari kawan dekat saya kang
Gigi.
Saya pun bisa berangkat ke Jakarta
dengan kereta. Kenapa memilih kereta? Karena saya dan Puad ingin menikmati
perjalanan romantis. Pemandangan dan suasana naik kereta itu jauh lebih
romantis dan menyenangkan daripada lewat tol Cipularang. Sesampainya di Gambir,
adik saya pun mengirim saya uang untuk menambah-nambah ongkos pergi. Hehehe,
saya betul-betul tidak punya uang saat itu, karena biasanya saya mendapatkan
uang bulanan dari Wanus dan Penerbit Ombak, tapi entah kenapa mereka kompak
menghentikan itu pada bulan Januari. Sepertinya ada yang salah dengan saya
sehingga mereka berhenti memberi saya funding bulanan. Tidak apa, pikir saya.
Pelajaran pertama saya tentang pemasukan keuangan bulanan saya. Oneday, saya
akan bekerja dan mengabdi pada sebuah pekerjaan yang memang saya akan lakukan
dan nyaman buat saya. Kalau ke Penerbit Ombak, saya yang meminta untuk tidak
dikirim mulai bulan ini. Saya masih bisa terus melangkah ke depan kok, sambil
senyum-senyum sendiri.
Sesampainya di studio Metro tv saya
kaget banyak sekali foto-foto yang dipajang di sana. Termasuk wajah saya yang
kebetulan sedang memegang laptop. Saya rindu laptop itu, laptop kesayangan
saya, teman tidur saya. Saya pun menangis depan bingkai foto yang ada wajah
sayanya bukan karna ada foto saya di gedung Metro tv ini tapi karna saya rindu
dengan laptop saya. Ia bagaikan sebelah jiwa saya. Ketika dijauhkan seperti ini
rasanya seperti kehilangan. Saya juga pernah menggadaikan laptop saya dulu
tahun 2009 untuk membayar uang kuliah semesteran di pascasarjana.
Di lobby bawah gedung
depan tempat acara KA Awards diadakan, saya berkeliling dan sempat foto-foto dired
carpet (atas suruhan mas Bambang, sambil disuruh menunggu). Saya dan
Puad senyum-senyum sendiri saat kami foto di depan foto saya yang besar. Saya
becanda sama Puad, maaf ya, maklum saya kan dari desa, suka pengen difoto di
tempat begini, apalagi depan muka saya sendiri, apalagi beneran ada karpet
merahnya juga seperti yang mas Bambang bilang akan disambut dengan red
carpet. Dasar ya.
Anehnya, saya melihat ada tempelan
double-tip di bawah nama saya, saat saya buka ada tulisan Young Heroes. Jantung
saya langsung, deg. Kok ditulis ini? Saya perhatikan foto-foto
lain, khususnya 2 nominator yang sekategori dengan saya tidak ada
double-tip-nya. Saya punya firasat buruk sama mas Bambang, bahwa dia mau ngasih
saya kejutan lagi. Dikasih kejutan kok malah difirasati buruk sih? Soalnya mas
Bambang itu pernah buat saya nangis saking kagetnya gara-gara syuting KA Hope.
Saya sampai terbata-bata dan tidak bisa ngomong di depan orang banyak, apalagi
bang Andy F. Noya sendiri. Itu kan menyebalkan (bukan dalam arti yang
sebenarnya), sudah bikin saya kikuk, gemetaran, tak ada persiapan, dan
sebagainya. Firasat buruk di sini dalam arti yang konotatif loh ya,
bukan suudzon.
Hal yang aneh lagi adalah saya disuruh
berdandan, diajak ke ruang tatarias dan saya langsung dikerjakan oleh dua orang
yang selalu bertanya, saya ini siapa? Saya jawab, saya tidak
tahu siapa saya, dan sebagai apa di sini. Dua perempuan yang menghias saya pun
ragu-ragu dan bingung. Hihihihi. Saya senyum-senyum saja plus
mewanti-wanti, “Mbak jangan tebal-tebal dong mbak. Please.” Tapi dibalas dengan
saya dinasehati kalau sebaiknya diam saja karena kalau di depan layar kaca itu
muka berdandan akan terlihat biasa saja. Saya pun ngikut saja. Karena saya
dikepung dan tidak bisa kabur dijaga juga sama beberapa karyawan KA. Puad
tertawa puas melihat hasil dandanan saya. Saya semakin malu dan canggung berada
di depan banyak orang dengan tampilan seperti ini.
Posisi duduk saya pun diatur sedemikian
rupa bersama nominator yang lain. Awalnya saya duduk santai saja. Tapi
lama-lama kok ada hal aneh lagi. Kalau memang benar kata mas Bambang itu semua
nominasi diundang. Saya menghitung orang-orang yang didandani juga. Kok hanya 7
orang ya? Kan harusnya belasan. Mampus aku, masa sih aku harus ke depan
panggung. Di depan banyak orang yang saya hapal muka-muka mereka dari layar
kaca. Duh, jantung saya makin deg-degan. Saya perhatikan satu persatu penonton
yang ada: A. Fuadi, Andrea Hirata, Adnan Buyung Nasution, 3 juri yang saya
takuti plus kagumi, Yayang C. Noer, Anies Baswedan, pemilik Mustika Ratu, dan
sebagian besar mungkin pengusaha-pengusaha dan undangan khusus acara KA ini.
Saya semakin gugup berada di tempat seperti ini. Tidak biasa.
Acara pun di mulai, satu persatu
orang-orang yang duduk di dekat saya dipanggil satu-satu dan diberi
penghargaan. Pertama Chanee dari Perancis, terakhir kang Dadang dari
Tasikmalaya, posisi kang Dadang di sebelah Puad. Jantung saya semakin bedegup
kencang. Ditambah lagi ada salah satu pengatur acara menghampiri saya dan
berbisik, “Nanti jarak mik-nya satu jengkal ya.” Hah, kenapa kasih tahu saya?
Memangnya saya bakal maju ke depan. Orang itu dengan muka serius bilang, “Ya,
kamu maju ke panggung”. Mampus, mampus, saya memaki dalam hati. Tapi ada
kagetnya juga, wah, masa? Aduh, gila. Aduh. Mas Bambang pun sukses membuat saya
menjadi seperti ini lagi. Blank untuk yang kedua kalinya.
Anies Baswenda pun tampil di panggung
dan mempersilahkan yang hadir melihat video dan menyebut nama saya. Jantung
saya seperti berhenti, dan mata saya berkaca-kaca melihat video itu. Perasaan
yang sama ketika melihat liputan Oasis dan KA Hope tahun lalu kembali merasuk
jiwa saya. Saya tersenyum lebar dan gugup sepanjang perjalanan menuju panggung,
ketika pak Anies memanggil nama saya. Seolah-olah ketika saya berjalan, ribuan
mata sedang menatap saya, memperhatikan saya. Saya betul-betul mau pingsan.
Saya gugup. Gemetar, sakit perut, mules, mata berkunang-kunang. Pokoknya saya
mau kabur dan lari ke gunung untuk menyendiri.
Setelah menerima simbol penghargaan
dari KA Heroes dengan kategori Young Heroes dari tangan pak Anies langsung
menambah saya bingung, kikuk, malu tapi bersyukur dan senang, dan blank. Saya
bingung mau ngomong apa. Mas Bambang sukses buat saya begini lagi. No. Saya pun
berusaha sekali mengucapkan beberapa kata, yang saya tidak tahu itu nyambung
atau tidak. Dan tidak berani menatap mata-mata yang ada di depan saya. Kecuali
yang saya bisa saya lakukan adalah pada saat ketemu mata bang Andy, senyum saya
lebar sekali, ditambah dengan acungan jempolnya. Saya merasa ada ketenangan di
sana, yang diberikan bang Andy. Mata para juri yang terus menatap saya.
Betul-betul mirip kondisi ketika ditodong dengan senjata. Tidak bisa bergerak
sedikitpun. Kira-kira rasanya seperti itu. Berkali-kali saya mengucapkan terima
kasih yang diberikan untuk semuanya, saya tidak sanggup menyebutkan nama
satu-per-satu, orang-per-orang, karena saya betul-betul tidak sanggup berbicara
banyak. Gagap.
Hal yang paling banyak saya lakukan
adalah senyum, banyak senyum, berbicara hanya 3 kalimat, paling banyak
mengucapkan terima kasih kepada semuanya. Semua yang telah membantu saya sampai
ada di sini. Kepada penyakit saya yang saya anggap musibah lalu saya sadar
bahwa itu merupakan anugerah (kalimat ini yang saya sesali kenapa tidak
selesai, harusnya merupakan anugerah yang membuat saya sadar bahwa hidup ini
bermakna setelah mengingat kematian). Saya seperti orang yang mau pingsan
mungkin dilihat oleh banyak orang.
Saya ingin cepat-cepat turun dan
kembali duduk di posisi saya. Sambil membawa semacam “piala” simbol penghargaan
yang berat itu, saya berjalan menunduk dan terus tersenyum, seolah tidak ada
keberanian untuk menatap balik mata-mata itu. Saat duduk saya menghela napas
panjang sekali. Lega. Dan hal yang membuat saya kembali riang dan berwarna lagi
ketika disuruh ke depan semua penerima penghargaan disambut jatuhnya bintang
warna-warni (kertas-kertas) dan balon. Ya, balon. Saya senang sekali ada balon
di sana. Banyak lagi. Rasanya saya adalah makhluk paling ceria dan beruntung di
dunia ini. Saya menerima ucapan harapan agar terus bersemangat dengan melakukan
apa yang sudah saya lakukan lewat orang-orang yang menyalami saya. Bahkan pak
Komarudin memanggil nama saya untuk mengajak salaman saat saya sedang asyik
melihat jatuhnya balon-balon itu. Saya canggung plus senyum lebar saat pak Imam
meminta foto bareng. Duh, malu.
Setelah acara selesai kami dipertemukan
dengan ketiga juri dan bang Andy yang khusus mengucapkan selamat dan mengobrol
banyak hal. Bertanya satu persatu-satu dari kami. Saling memfoto dan saya sibuk
menenangkan diri saya. Senyum, bengong, kagum pada yang lain apalagi dengan
juri-juri. Tidak pernah menyangka sebelumnya saya akan berada di sini saat itu.
Saya ingin menarik Puad untuk mengajak bersama-sama bengong dan mengagumi semua
orang di sini. Saya canggung sekali menjawab pertanyaan-pertanyaan pak Imam dan
Romo Muji. Duh, malu. Saya kadang suka menyesal setelahnya kenapa sih diam
saja, kenapa tidak banyak omong? Tapi saya selalu berusaha memaklumi sikap saya
yang kaku dan canggung terhadap orang baru apalagi orang yang saya idolakan.
Saya menjaga jarak sekali, entah kenapa. Tapi saya berusaha untuk berusaha
rileks dan santai. Juga tidak menjengkelkan. Mudah-mudahan.
Setelah berkumpul di ruangan tersebut,
satu persatu kami pamit dan saling bersalaman. Waktunya pulang, tapi saya
seperti terus menampar diri kok seperti mimpi, ayo sadar Sinta! This is
a real-life. Saya pun akhirnya meninggalkan gedung yang memberi saya
kenang-kenangan hidup yang luar biasa besarnya dalam hidup saya. Saya pun ikut
numpang kendaraan Ginan ke arah Bandung. Keberuntungan yang lain, bisa pulang
langsung ke Bandung (sebelumnya saya dan Puad bingung mau pulang naik apa,
karena jadwal kereta sudah tidak mungkin dengan pulang jam 10, plus travel juga
belum tentu ada). Beruntung sekali ketika saya bertanya pada Ginan naik apa,
dan dia menjawab bawa kendaraan sendiri. Duh. Saya pun sedikit malu-malu
meminta ikut bareng nanti pulangnya.
***
Selama perjalanan Jakarta-Bandung,
melewati Cipularang sekitar jam 11 malam. Saya duduk di jok belakang, posisi
saya sengaja berada di tengah. Agar bisa berhadapan langsung dengan jalan malam
yang diberi cahaya oleh lampu kota dan lampu jalan. Sebuah perjalanan lurus dan
panjang yang saya anggap sangat tepat untuk merenung dan bersyukur. Maka saya
pun melakukan sebuah ritual. Yaitu merenung pada sebuah perjalanan. Merenungi
apa yang telah terjadi selama satu hari ini.
Selama perjalanan panjang dan gelap
itu, ditemani rintik-rintik hujan, Ginan yang tidur di jok depan, saudaranya
Ginan yang serius dan fokus menyetir, dan Puad yang senyum-senyum sambil merem-merem
ayam. Saya ditemani mereka semua, langit, hujan, lampu, cahaya.
Seolah-olah perjalanan saya ini menuju ke sebuah titik cahaya. Semacam flash-back,
mengingat apa yang sudah saya lakukan apa sudah betul? Apa saya masih kurang
memperhatikan hidup saya? Apa saya ini itu dan sebagainya. Satu sisi saya
menyesal tidak sempat mengucapkan terima kasih kepada siapapun. Bukan, bukan
tidak sempat. Tapi saking gugup dan jantung saya berdegup kencang sekali seolah
terdengar oleh mikrofon dan memberitahu bunyi jantung saya kepada yang hadir
kala itu. Rasanya seperti itu. Saya memang tidak cocok jadi vokalis band ^^
Mungkin di sinilah tempatnya, di kertas
ini, saya harus menulis semua yang ingin katakan pada saat di atas panggung itu
namun tidak sampai saya ucapkan. Saya hanya bisa mengetikkan perasaan saya,
saya tidak sanggup berkata banyak, mohon maklum. Saya sangat bersyukur diberi
sebuah penghargaan kategori Young Hero, padahal saya sudah tidak muda lagi.
Tapi saya berharap pemuda dan pemudi Nusantara di sini dapat menerima bahwa
yang diberikan pada saya sebuah “penghargaan ini” merupakan penghargaan untuk
kalian semua wahai penerus bangsa yang memiliki semangat dan rasa kasih sayang
antar makhluk hidup. Saya juga tidak lupa berterima pada Penguasa Alam Semesta,
Bapak di langit, dan Ibu di bumi. Tanpa kalian saya tidak mungkin ada.
Sama seperti Ginan, saya mengucapkan
terima kasih untuk diri sendiri yang sudah mau melawan rasa sakit dan kata-kata
menyerah. Tidak lupa kepada kelas Aksara Kuno, teman-teman yang mau datang dan
belajar bersama, teman-teman yang tulus datang dan tersenyum demi Aksakun ini
sejak 2009 hingga sekarang. Tanpa kalian saya juga tidak akan ada, untuk semua
yang sudah membantu keberlangsungan kelas ini, pak yayasan dan GIM (tempat
belajar), kepala sekolah, teman-teman. Puad yang selalu menemani saya,
berdiskusi hal apapun, yang suka menyoraki saya dengan perlengkapan pom-pom
boys dan kata-kata yang menyemangati hidup saya dan kembali menjadi diri yang
tidak ringkih. Terima kasih atas cinta yang tulus.
Kemudian bu Titin dosen filologi Unpad
dan kawan-kawan yang sudah bersusah payah membantu saya agar bisa lulus (tidak
dikeluarkan) dari program pascasarjana ini, Bilven, Ilham Aidit, Andi Daging,
Gigi dan kang Zimbot, pak Dekan, pak Ganjar Kurnia, bu Elli, kang Godi Suwarna,
Ahda Imran, dan lainnya yang berjuang untuk tetap mempertahankan cita-cita saya
menjadi seorang filologi yang sebenarnya. Saya sangat berhutang sekali pada
kalian semua. Juga kepada om Heru yang sayang sekali kita belum sempat saling
mengenal satu sama lain, dan memahami satu sama lain. Terima kasih atas
bantuannya selama ini. Juga teman-teman di komunitas Ujungberung Rebel yang
beberapa orang selalu berada di samping saya saat saya berkreasi dan menjalani
kelas Aksakun: kang Wisnu, Kimung, Man Jasad, dan lainnya. Terima kasih. Juga
kepada Penerbit Ombak dan bang Nursam yang sudah mau mencetak buku Berteman
Dengan Kematian pada 2010 dan hingga tahun ini sudah masuk cetakan ketiga,
semoga bisa cetak sampai puluhan kali, biar saya bisa beli sawah dan kebun.
Tidak lupa juga kepada yang sudah sudi membeli buku BDK, terima kasih sudah mau
membacanya, meluangkan waktu dan uang untuk buku BDK ini, terima kasih sudah
membuatnya menjadi buku best seller.
***
Young Hero adalah penghargaan untuk
kategori pemula, untuk yang muda. Muda, budak anom. Anak kecil yang
tidak mengetahui apa-apa. Harus banyak belajar, dan terus belajar. Saya
mendapatkan ini bukan berarti perjalanan saya sudah selesai, tapi baru mulai.
Ya, saya baru memulai perjalanan, masih banyak hal yang masih saya
cita-citakan, masih berwujud dalam mimpi. Misalnya seperti pendataan naskah dan
aksara kuno se-Nusantara. Jalan saya masih panjang, doakan ya kawan-kawan, agar
saya selalu sehat dan semangat. Terima kasih, penghargaan ini untuk kalian
semua. Kepada Kick Andy, bang Andy F. Noya, para sponsor, mas Bambang dkk,
Metro tv, mbak Rere dan Oasisnya dulu, dan masih banyak lagi, terima kasih
banyak. Terima kasih. Terus menjadi semangat bagi hidup saya.
Kalian semua, teman-teman di Nusantara,
adalah inspirasi saya. Saya bersungguh-sungguh mengucapkan terima kasih atas
kesempatannya, anugerah, dan kepercayaannya. Hal-hal ini akan terus menjaga
semangat saya dan mendukung saya untuk terus dan tetap berkarya. Karya yang
keluar dari hati dan diperuntukkan pada kalian semua, alam semesta, dan negeri
ini.
***
Apabila teman-teman ada yang melihat
tayangan KA Heroes 2012 tadi, sambil memperhatikan baju yang saya pakai. Ya,
yang berwarna pink berenda itu. Pakaian atas yang saya pakai adalah baju ibu
saya. Baju pertama yang diberikan ayah saya ketika mereka berpacaran sekitar
tahun 1983. Baju itu selalu saya pakai pada beberapa momen yang saya anggap
memerlukan kehadiran ibu saya. Tanpa saya sadari baju ini yang lagi-lagi saya
pilih untuk saya pakai pada acara tadi malam. Awalnya saya sudah menyediakan baju
batik yang cantik, tapi saya tanggalkan, dan memilih baju klasik ini. Ibu saya
sempat sms dan bilang, "Baju yang dipakai itu baju mamah yang dikasih
papah dulu ya?"
Baju itu saya ambil di almari ibu,
ketika menemukannya sepasang dengan rok kotak-kotak merah saya langsung ambil,
saya tidak tahu sejarahnya baju itu. Saya ambil karna saya suka bentuknya.
Beberapa kali saya pakai saat bekerja di lembaga pendidikan tahun 2008.
Kemudian untuk yang kesekian kali secara berturut-turut baju itu saya pakai
saat mendaftar ulang kuliah S2 di Unpad sambil foto kartu tanda mahasiswa.
Kemudian saya pakai baju itu saat saya sidang ujian proposal tesis. Saat saya
sedang mempersembahkan usulan penelitian untuk kajian filologi saya. Kemudian
baju ini juga saya pakai saat ujian/sidang akhir Agustus 2011. Dan kalian tahu?
Baju ini juga saya pakai saat difoto untuk foto yang ditempel pada ijasah S2.
Lalu, saya pun kembali pakai baju pink ini tadi malam. Ya, saat menerima
penghargaan tadi. Kenapa? Apa saya tidak punya baju lagi? Tidak-tidak, bukan
itu alasan saya kenapa selalu memakai baju ibu saya itu, yang kebetulan ngepas
di badan saya.
Sama seperti ketika menyentuh
naskah-naskah kuno. Saya, hidup di masa sekarang kenapa harus baca-baca lagi
catatan yang sudah lampau, ratusan tahun lalu. Saya, yang hidup di masa kini
yang menghadapi permasalahan yang sudah pasti ada akarnya/ada titik start-nya.
Kenapa saya ingin memegang-megang naskah? Bukan hitungan akuntasi dan
manajemen, peralatan teknologi yang maju, dan berjalan-jalan di mall? Atau
menjadi pegawai bank? Alasan saya mungkin, saya ingin belajar banyak dari masa
lalu itu. Bukan berarti selalu mengandalkan ilmu masa lalu adalah sesuatu yang
pasti benar. Bukan.
Melainkan, saya ingin merasakan sesuatu
yang kala itu terjadi lewat naskah kuno. Sama seperti yang saya lakukan ketika
memakai baju ibu saya pada momen tertentu. Yaitu ingin merasakan perasaan ibu
dan ayah saya pada waktu itu, tahun 1983, waktu sebelum saya ada itu bagaimana.
Pasti ada yang saya pelajari dari baju ini, bukan sekedar bentuk bajunya yang
kembali nge-trend masa kini, vintage. Tapi saya ingin merasakan ada
kejadian/momen apa yang terjadi ketika baju ini ada di tangan ayah dan ibu
saya. Apa yang terjadi pada waktu itu? Apa yang dilihat oleh baju itu? Dia adalah
saksi mata dari bersatunya ayah dan ibu saya. Ada satu alasan lagi, saya ingin
menghadirkan keduanya, berada di samping saya, di masa-masa tertentu itu.
Serasa dipeluk oleh keduanya saat saya memakai baju itu.
Saya merasakan hal yang sama ketika
sedang menatap naskah-naskah kuno tersebut.
Ujungberung, 11 Maret 2012
Sinrid
Selasa, 16 Oktober 2012
Awal musim gugur, 2012
Dear Boston,
Besok aku pulang. Setelah 10 tahun berada jauh dari rumah, akhirnya
saatnya untuk kembali lagi. Tentu saja aku senang, bisa kumpul lagi sama Ayah
dan Ibu. Tapi juga sedikit takut. Semuanya akan berubah dalam seketika.
Di sini aku hidup sendiri. Semua aku yang mengatur. Mulai dari masalah
makan, jam pulang malam, sampai keputusan-keputusan penting tentang sekolah dan
hidupku. Namun sebentar lagi, aku akan kembali dalam pengawasan Ayah dan Ibu.
Tapi toh itu bukan masalah, aku juga sudah sangat rindu di manja-manja lagi,
jadi a little princess lagi di rumah.
Gak sabar rasanya ingin ketemu temen-temen main dulu. Pasti mereka
sudah banyak berubah. Bahkan Mila, Tasya, dan Riri sudah menikah dan punya
anak. Sisanya pada kemana yah? Eja? Apa kabar sahabatku yang satu itu? Setelah
masuk kedokteran, sudah gak pernah ada kabarnya lagi. Paling cuma denger cerita
dari Ibu yang masih sering ngobrol sama Bunda Rima, bundanya Eja.
Aku pulang karena ingin menepati janjiku dengan Ayah. Dulu sebelum
berangkat ke Amerika, Ayah sempat bilang kalau aku adalah investasinya Ayah
untuk Indonesia. Jadi kalau sudah jadi Psikolog, harus pulang lagi, supaya bisa
ikut membangun bangsa. Aku merasa pengalamanku sudah cukup, sudah saatnya aku
kembali, membagi sedikit ilmu yang sudah aku dapat dari sini.
Good Night Boston. I will miss your pretty blue sky.
***
Soekarno-Hatta,
Jakarta.
Aku berlari-lari
kecil ingin segera menghampiri dua sosok yang paling berarti dalam hidupku.
Ayah melambai sambil tersenyum. Mata Ibu sudah basah oleh air mata bahagia.
Setelah mencium tangan keduanya, aku segera menghambur kedalam pelukan mereka.
Untuk sesaat kami hanyut dalam haru.
“Alhamdulillah,
akhirnya anak ibu sampai juga. Gimana pesawatnya sayang? Lancar semuanya?”
Tanya ibu sambil mengelus wajahku.
“Lancar kok Bu,
tidur terus malah sepanjang perjalanan. Ibu kok tambah kurus aja sih? Salma
jadi keliatan dua kalinya ibu.” Ibu mencubitku manja
“Capek yah tuan
putri? Langsung ke mobil aja yuk. Oh iya malem ini kebetulan ada acara buka
puasa bersama di rumah. Kita ngundang temen-temen ayah dan ibu. Sekalian kan
mau ngenalin anak kesayangan ayah yang baru dateng. Mereka pasti kaget ngeliat
Salma udah dewasa gini.” Kata ayah.
“Wah, Bunda Rima
dateng juga gak Yah?”
“Dateng dong. Si
ibu juga udah minta Reza supaya di ajak tuh. Pasti kamu udah kangen juga kan?
Dia udah jadi dokter spesialis ginjal juga loh. Kadang suka gantiin ayah
nanganin pasien, kalo ayah harus keluar kota.”
Senangnya bisa
ketemu Eja dan Bunda Rima secepat ini. Apa kabar yah mereka?
***
Mungkin karena 23
jam perjalanan, sampai di rumah aku langsung ketiduran. Dua jam kemudian
dibangunkan bunda karena hampir tiba waktu berbuka. Waktu aku mengintip dari
pintu kamar, rumah kami sudah penuh berisi tamu-tamu. Cepat-cepat aku mandi dan
bersiap-siap untuk menyambut mereka.
Baru saja hendak
melangkah keluar kamar, tiba-tiba aku mendengar suara Adzan. Tapi suaranya
begitu dekat. Bukan seperti dari tv. Aku segera keluar dari kamar. Ruang tamu
sudah penuh berisi tamu-tamu yang sudah siap melaksanakan sholat Maghrib
berjama’ah. Ternyata waktu berbuka sudah datang dari tadi. Di barisan depan,
seorang laki-laki berdiri, sambil dengan indahnya mengumandangkan Adzan.
Jantungku tiba-tiba berdetak lebih kencang. Pertama karena sudah lama sekali
aku tidak mendengar suara menakjubkan panggilan sholat ini. Kedua, sosok itu
sangat aku kenal. Meski dulu tidak setinggi dan segagah itu, tapi aku yakin,
itu adalah Eja, teman kecilku dulu.
Selesai sholat,
aku segera mencari-cari Eja. Ternyata ia sedang asyik ngobrol sama ayah, ibu,
dan bunda Rima. Aku sedikit berlari-lari kecil, tak sabar ingin menyapanya.
“Ejaa.. Bunda
Rima.. Waahh kangennya.” Aku segera memeluk Bunda Rima.
“Subhanallah
Salma, kamu udah gede begini. Meni geulis pisan. Aduh Bunda itu udah kangen
banget sama kamu. Tanya deh sama Ibu, tiap kali kerumah pasti nanyainnya kabar
kamu terus. Apa kabarnya sayang?” Tanya wanita yang sangat ramah itu.
“Alhamdulillah
baik Bunda. Salma juga kangen banget ngobrol-ngobrol banyak lagi sama Bunda
Rima.” Jawabku.
“Iyah nanti kita
jalan-jalan bareng deh yah, kalo kamu udah ilang capeknya.” Aku mengangguk. Eja
hanya tersenyum melihat kami berdua.
“Hey Pak Dokter.
Apa kabar kamu?” Tanyaku pada Eja. Aku tidak menjabat tangannya, karena aku
sadar, ia sengaja memasukan kedua tangannya kedalam saku celananya. Suara adzan
yang dikumandangkannya, peci di atas kepalanya, dan matanya yang berusaha tidak
menatap wajahku, aku rasa sudah cukup menjadi isyarat tentang perubahan
hidupnya selama 10 tahun terakhir ini.
“Alhamdulillah baik
Sa. Congratulation yah, denger-denger udah jadi psikolog anak sukses
juga.”
“Wah masih jauh
kali Ja dari sukses. Baru juga mau mulai.” Jawabku.
Tiba-tiba
handphone Eja bunyi, memutuskan pembicaraan kami. Ternyata ada sms masuk. Eja
minta izin untuk menghubungi temannya sebentar. Akhirnya aku ngobrol lagi
dengan Ibu dan Bunda Rima, sambil menunggu Eja selesai bicara dengan temannya.
Tak lama ia menghampiri kami.
“Bunda, Ibu, Ayah,
maaf banget, tapi Eja harus pamit sekarang. Tadi memang rencananya cuma mau
mengantar Bunda sebentar, sekalian ketemu Salma. Kebetulan sudah ada janji sama
beberapa teman untuk menghadiri pengajian di Masjid Al-Azhar. Insya Allah nanti
Reza main-main lagi ke sini.” Setelah pamit, Eja pun pergi meninggalkan acara.
Akhirnya tamu-tamu
satu demi satu pulang. Malam yang cukup melelahkan. Setelah ngobrol sebentar
dengan Ayah Ibu, aku segera masuk ke kamar. Sebelum tidur, aku memikirkan
pertemuan tadi dengan Bunda Rima dan Eja. Mengagumkan, 10 tahun bisa membuat
seseorang berubah sedemikian rupa. Eja yang dulu selalu banyak bicara, sekarang
lebih banyak diam. Yang tadinya sangat memikirkan penampilan luar, sekarang
sungguh luar biasa sederhananya. Sebuah perubahan yang menakjubkan.
Aku tentu saja
senang melihat keadaan sahabat kecilku itu. Seorang dokter muda yang cerdas.
Anak yang sangat menyayangi dan menjaga bundanya, terutama setelah sang ayah
meninggal. Dan, dari cerita ibu tadi, Eja semakin tekun mempelajari agama.
Sebagai temannya, tentu aku juga ikut merasa bangga.
Tapi ada satu hal
yang mengganjal di hatiku. Eja seperti jadi orang asing. Tidak seperti dulu,
sekarang ia sangat menjaga jarak dalam berbicara padaku. Padahal aku kangen
mendengar cerita-cerita tentang hidupnya. Aku kangen berdiskusi tentang
berbagai hal lagi. Selama aku di Boston, aku selalu semangat mengikuti
perkembangan Eja dari cerita Ibu. Tapi mungkin itu hanya perasaanku. Mungkin
tadi karena baru bertemu sebentar saja.
Bersambung yah...
soalnya panjang.. kasian bacanya nanti
Jakarta, November
2006
Mengecewakan.
Jakarta sepi. Bosan. Semua orang sibuk mengurusi hidup masing-masing. Kemarin
ketemu Mila dan Tasya. Tapi mereka sudah sangat berubah. Atau aku yang berubah?
Yang jelas pembicaraan kami sudah beda. Mereka sibuk mendiskusikan masalah anak
sakit, pembantu yang gak betah, suami yang pulang malam. Aku sendiri belum
masuk ke dunia itu. Jadi bingung juga gimana nanggepinnya.
Yah memang pada
akhirnya kita gak bisa mengharap bahagia dari orang lain. Sebentar lagi juga
aku akan sibuk ngurusin dunia kerjaku yang baru. Jadi ragu, apa memang benar
ada yang namanya ‘teman sejati’?
Aku meraih
handphone ku.
Ja, apa kabar?
Bosen nih, gak ada hiburan. Ja pengajian kamu di mana sih? Aku pengen belajar
juga dong. Udah tambah tua nih, masih juga sibuk ngurusin dunia. Malu, kalah
sama kamu.
Sent.
Seminggu ini aku
semakin banyak dengar cerita tentang Eja dari Ibu. Ternyata, meninggalnya Ayah
Yudi memang jadi titik awal buat Eja, memulai perjalanan spiritualnya. Seminggu
ini aku pun sibuk membandingkan jalan hidupku dan Eja. Apa yang sudah aku dapat
selama 10 tahun ini? Hanya sibuk mengejar impian-impianku sendiri. Tapi
bagaimana hubunganku dengan Tuhan, yang sudah menganugrahkan semua nikmat ini?
Lucunya, kenapa tiba-tiba aku jadi sibuk memikirkan Tuhan dan agama?
Handphone ku
bergetar. Pasti balasan dari Eja.
Assalamu’alaikum
Sa. Sorry aku lagi di Semarang. Baru balik sebulan lagi. Kamu bosen yah? Ya
udah gimana kalo aku kenalin sama temenku. Namanya Aisya. Mungkin dia bisa
ngajak kamu ke pengajiannya kapan-kapan. Sekalian ngisi waktu sebelum mulai
praktek kan. Ini no nya...
***
Siang itu Jakarta
panas bukan main. Sudah 20 menit aku duduk di restaurant itu sambil menikmati
segelas lemon tea. Aku sedang menunggu Aisya. Seperti bukan aku yang biasanya,
mau asal kenal sama orang asing, tanpa ada Eja yang lebih mengenal perempuan
ini. Tapi mungkin karena aku sudah terlalu bosan, tidak ada teman ngobrol
selama di Jakarta. Lagi pula kurang tepat juga kalo disebut ‘orang asing’. Dia
kan temannya Eja. Dan Eja sahabatku.
“Assalamu’alaikum,
Salma yah? Ya ampun maaf yah jadi bikin nunggu lama. Tadi sholat Dzuhur dulu di
Musholah bawah. Oh ini yang suka Eja ceritain. Aduh cantiknya.” Tiba-tiba
seorang perempuan berjilbab panjang sudah berdiri didepanku, dan menyapa dengan
cerianya.
“Wa’alaikumsalam.
Aisya yah? It’s okay, aku juga baru dateng kok.” Aku segera menjabat tangannya.
Cantik dan sangat
ramah. Itu kesan pertama yang aku dapat. Pakaian muslimahnya semakin jelas
menunjukan keanggunan perempuan ini. Aku lega, Eja sudah mengatur supaya aku
bisa bertemu dengan Aisya.
“Gimana
kesan-kesannya balik ke Jakarta lagi? Pasti pusing yah, ngadepin jalanan macet,
polusi, sampe berita-berita politik dan ekonomi yang gak ada abisnya?” Aisya
memulai percakapan.
“Hmm iyah agak
sedikit harus adaptasi lagi. Tapi seneng kok, gimana juga Jakarta tetep
rumahku. Aisya sekarang sibuk apa?”
“Aku baru mulai
praktek di salah satu rumah sakit bersalin. Jadi baru adaptasi juga. Kata Eja,
kamu juga akan mulai praktek di pusat penanganan anak autis yah? Wah
menariknya.” Aku tersenyum.
“Sepertinya Eja
udah cerita banyak yah tentang aku. Padahal aku juga belum sempet ngobrol
banyak sama Eja lagi loh. Dia pasti tau berita-beritaku dari Bunda Rima atau
ibuku.”
“Iyah dia sedikit
cerita tentang kamu melalui email kemarin. Ternyata kalian tuh teman dari kecil
yah. Sampe orang tuanya ajah udah saling kenal. Pasti seneng dong akhirnya
ketemu lagi.”
“Justru kita kenal
karena dulu Ayahku sama Ayahnya Eja praktek di rumah sakit yang sama. Seneng
pastinya bisa ketemu lagi. Tapi baru ketemu sekali kok waktu buka puasa
kemarin. Itu pun gak lama. Eja kayaknya langsung sibuk banget yah. Susah sih
udah jadi Pak Dokter. Kamu kenal Eja di mana Sya?”
“Kita dulu
sama-sama di Rohis waktu SMA. Terus kebetulan sama-sama masuk kedokteran juga.
Denger-denger kamu tertarik ikut pengajian di rumahku?”
“Iyah, udah lama
gak belajar agama. Semenjak di Boston, malah cuma sibuk ngurus kuliah.”
Aisya benar-benar
teman yang menyenangkan buat diajak bicara. Sudah jelas, selain anggun, ia juga
sangat cerdas. Pengetahuannya luas. Jarang ada seorang perempuan yang sangat
mengikuti perkembangan dunia seperti Aisya. Selain itu pengetahuannya tentang
Islam pun sangat dalam. Ia menjawab setiap pertanyaanku dengan jelas tapi tidak
menggurui. Pelan-pelan tapi pasti aku semakin tertarik untuk mengikuti
langkahnya, membina hubungan yang penuh makna dengan Allah Sang Pencipta.
Lucunya, dia
selalu semangat membicarakan Eja. Sibuk bercerita tentang Eja sebagai seorang
dokter, ketua Rohis, atau ketua senat. Intinya ia banyak menceritakan Eja yang
belum pernah aku kenal. Aku kagum sendiri. Tapi juga agak sedih, karena
sepertinya dunia aku dan Eja sudah benar-benar berbeda.
Aisya kadang
bertanya pendapatku tentang Eja. Kenapa yah? Sepertinya dia semangat sekali.
Mungkin perempuan anggun ini menaruh hati pada sahabat kecilku itu. Dan mungkin
juga sebaliknya. Kalo dilihat kasat mata, memang mereka sangat serasi. Keduanya
sama-sama dokter muda yang penuh potensi. Dalam masalah iman, mereka seperti
sudah melangkah di jalan yang sama. Aisya juga perempuan yang sangat lembut dan
baik hati. Aku ikut senang jika ternyata perasaanku benar.
Tapi benarkah aku
ikut bahagia?
***
Sebulan ini aku
banyak menghabiskan waktu dengan Aisya. Aku mulai rajin datang ke pengajian
mingguannya. Bertemu dengan teman-teman Aisya yang lain. Perempuan-perempuan
yang sangat istimewa. Kebanyakan dari mereka adalah teman kampus Aisya. Jadi
rata-rata adalah dokter-dokter muda. Semuanya wanita yang cerdas dan mandiri.
Tapi baru kali ini aku bertemu dengan wanita-wanita intelektual yang tujuannya
satu, meraih Ridho Illahi. Sungguh, baru kali ini aku masuki dunia yang penuh
dengan damai dan indahnya nuansa islami. Sepertinya aku jatuh cinta pada
lingkungan ini.
Selangkah-demi
selangkah aku coba menjelajahi Islam lebih jauh. Memperbaiki hubunganku dengan
Sang Penggenggam Hati. Sunggu baru aku temukan berbagai keindahan agama yang
sudah sejak lahir aku anut ini. Aisya dan teman-temannya selalu siap membantuku
dalam belajar. Mereka menuntunku untuk lebih jauh mengenal Allah, Rasulullah
dan Sunahnya.
Cintaku pada
Rasulullah mulai merekah. Aku coba selami lebih jauh hidupnya. Air mata kagum
dan haru menemani malamku saat menyusuri Sirah Nabawiyah. Aku kagum akan
kesetiaan Siti Khadijah. Terpesona dengan kecerdasan Aisyah R.A. Menangis pilu
membayangkan sabar dan teguhnya Khalid, Umar, dan Ali yang berjuang menegakkan
Islam. Ikut bergetar membayangkan Adzan yang terlantun dari bibir Bilal. Ada
sedikit sesal, mengapa baru sekarang aku mengenal mereka. Setelah hampir
kulewati setengah hidup ini.
3:15 am, Sepertiga
Malam Hari
Dalam sunyi hamba
datang menghadapMu Illahi. Disaksikan gelapnya malam dan bintang-bintang. Aku
bersujud memohon ampunan. Jangan lagi Kau tutup mata hati ini. Ya Rahman, Aku
rindu padaMu.
Sesungguhnya kamu tidak
akan dapat memberi petunjuk kepada orang yang kamu kasihi, tetapi Allah memberi
petunjuk kepada orang yang dikehendaki-Nya, dan Allah lebih mengetahui
orang-orang yang mau menerima petunjuk. (QS. 28:56)
Sejenak kutatap
baju muslimah baru lengkap dengan jilbab putih yang sudah tergantung di pintu
lemariku. Aku tersenyum. Tidak sabar menunggu untuk mengenakannya dan memulai
langkahku yang baru.
***
“Salma, aku punya
berita baik.” Kata Aisya di telpon siang itu.
“Wah ada apa nih
Sya?” Tanyaku penasaran.
“Insya Allah dua
minggu lagi aku sudah menjadi istri seseorang.”
“Alhamdulillah.
Kok baru bilang sekarang? Siapa calonnya itu Sya?” Aku agak sedikit kaget.
“Memang belum lama
juga kok Ma keputusannya. Nanti aku kasih tau lengkapnya yah. Sekarang masih
harus menerima pasien. Assalamu’alaikum.”
“Wa’alaikumsalam”
Aku terdiam dalam
tanya. Siapakah lelaki beruntung itu? Hanya ada satu nama yang muncul, Eja.
Ternyata tebakkanku dulu tidak salah. Aku akan senang sekali jika ternyata
pikiranku benar.
Tapi, benarkah aku ikut bahagia?
Bapak2 ibu2... bersambung lagi yah...
Bapak2 ibu2... bersambung lagi yah...
Bagian awalnya ada
di postingan sebelumnya...
Lagi-lagi, siang
itu Jakarta panas bukan main. Aku duduk menunggu Aisya dalam banyak tanya.
Entah kenapa aku begitu yakin bahwa lelaki itu adalah Eja. Tanda-tandanya sudah
jelas, Aisya sering sekali membicarakan kehidupan Eja padaku. Tapi apa artinya
rasa gelisah di hati ini? Kenapa aku merasa sedih? Padahal Eja adalah teman
kecilku dan Aisya sudah menjadi sahabatku. Mereka adalah pasangan yang sangat serasi
dimataku. Tapi kenapa aku merasa tidak setuju? Mungkinkah aku cemburu?
“Assalamu’alaikum
Salma. Maaf nunggu lama yah, tadi pasien terakhir telat datengnya.”
“Wa’alaikumsalam
Sya. Ngga kok. Aduh calon pengantin, ngagetin ajah beritanya. Who’s the lucky
guy Sya?” Tanyaku penasaran.
“Sabar dulu dong
Salma sayang. Belum juga duduk, hehe. Belum juga sempet muji, kamu kelihatan
kayak bidadari surga dengan jilbab itu.”
“Alhamdulillah,
makasih Sya. Ayo sekarang cerita semuanya.” Aku semakin tidak sabar.
“Namanya Muhammad
Iqbal.” Ya Allah, dugaanku salah. Seperti ada tetes-tetes embun pagi yang
menyejukan hati.
“Kenal dimana
Sya?”
“Dia sahabatnya
Reza. Tadinya, aku sendiri cuma kenal dari cerita-cerita orang. Seperti juga
aku tau tentang kehidupan Reza. Tapi sebulan yang lalu, kakak perempuannya,
yang juga senior ku di kampus dulu, menghubungiku. Akhirnya kami memutuskan
untuk menjalani proses Ta’aruf. Selanjutnya yah orangtuanya datang kerumah
untuk melamar.”
“Wah i’m so happy
for you sis. Jadi kamu sebenernya gak kenal deket sama Eja?”
“Ngga lah. Cuma
tau gitu-gitu ajah. Dan denger cerita-cerita dari orang. Sampe waktu itu dia
menghubungiku supaya berkenalan dengan kamu. Dia juga tau aku dari Iqbal.” Aku
sempat diam tak bisa berkata apa-apa.
“Jadi gimana nih?
Ibu psikolog kira-kira kapan?”
“Kapan apanya?”
Tanyaku sambil tersenyum.
“Yah kapan mau
ngelepasin ‘single status’nya?”
“Wah kapan yah?
Belom kepikiran Sya. Ngurus hidup sendiri ajah baru mulai. Masih banyak yang
mau di urus dulu.” Jawabku seadanya.
“Hmm yah harus
mulai di pikir dikit-dikit lah Salma sayang. Lagian apa lagi sih yang mau
dikejar? Kan enakan kalo ngurusin hidupnya berdua. Bareng-bareng berjuang di
jalannya Allah.”
“Aduh jadi luluh
hatiku Sya, hihi. Yah sekarang sih ikutin rencananya Allah ajah deh.”
“Emang kamu nunggu
yang kayak gimana?”
“Yang bisa ngasih
alasan terbaik kenapa mau jadi imamku. Dulu di Boston ada beberapa yang
menyampaikan niat baiknya untuk menikahiku. Tapi ketika aku tanya alasannya,
semua jawabannya gak ada yang meyakinkan.”
***
Menikah? Satu kata
yang jarang sekali ada di pikiranku sampai sekarang. Selama ini hidupku sudah
cukup padat dengan kuliah, mengajar, dan praktek. Jangankan memikirkan masalah
menikah, selama ini saja aku selalu merasa tidak punya waktu untuk memikirkan
cinta monyet. Untukku semua harus tersusun dengan rapih. Bahkan rencana hidup.
Sampai saat ini, menikah belum ada dalam jadwal hidupku. Tapi mungkinkah sudah
saatnya aku memasukan ‘langkah besar’ itu dalam agendaku?
Waktu menunjukan
sepertiga malam sudah datang. Aku bangkit untuk berwudhu. Dalam kebingungan,
cuma ada satu cara yang terbaik, sujud mohon petunjuk pada Sang Raja Alam.
***
“Assalamu’alaikum
Sa. Ayah kamu ada?”
“Wa’alaikumsalam.
Loh kamu udah pulang Ja? Ayah? Tumben nyariinnya ayah. Ada di ruang baca Ja.
Langsung masuk aja.” Aku bingung. Eja tiba-tiba datang setelah lebih dari
sebulan aku belum bertemu lagi. Terakhir waktu buka puasa dulu.
Aku menunggu di
kamar. Menunggu percakapan mereka selesai. Tapi hampir satu jam mereka belum
juga terdengar suaranya. Tanpa sadar aku tertidur.
***
Sayup-sayup
terdengar suara orang berbisik-bisik. Aku terbangun, di kananku sudah ada ibu.
Di kiriku ada ayah.
“Sayang, kamu
belum Isya kan?” Tanya ibu.
Aku menggeleng
sambil buru-buru bangkit. Ketika aku sholat, ayah dan ibu tetap tidak beranjak
dari tempat tidurku. Setelah selesai ayah memanggilku,
“Sini Princess.
Ada yang mau ayah tanya.”
“Ada apa yah?”
Tanyaku bingung melihat wajah ayah yang agak sedikit serius.
“What’s your big
plan this year sweetheart?”
“Hmm yah mulai
praktek yah. Sambil nyelesain buku. Syukur-syukur bisa diterbitkan taun ini.”
“Kalo menikah?”
“Hah? Menikah?
Sejauh ini belum kepikir. Lagian kalo pun mau, sama siapa? Hehe emang ayah udah
punya calonnya?” Kataku sambil bercanda.
“Udah sayang.” Aku
semakin bingung. Ibu tersenyum sambil mengedipkan sebelah matanya.
“Siapa yah? Loh
ini ada apa sih? Kok tengah malem tiba-tiba ngagetin.”
“Kalo sama Reza
gimana? Tadi dia datang itu yah mau menyampaikan niat baiknya. Lucu juga,
ternyata kata-katanya waktu umur 7 tahun untuk mengambil kamu dari Ayah,
diutarakan lagi 23 tahun kemudian. Dulu sih cuma ayah godain. Ayah suruh pulang
lagi. Ayah bilang dia belum jadi jagoan buat ngelindungin tuan putrinya ayah.
Tapi kalo sekarang, mana mungkin ayah suruh pulang dengan tangan kosong. Kamu
bisa lihat sendiri dia sudah jadi lelaki dewasa, dokter muda berpotensi, dan
yang paling utama dari segala-galanya, ia datang dengan berbekal iman dan niat
untuk lebih memuliakanmu dihadapan Illahi. Sekarang tinggal ayah tanya deh sama
Salma. Gimana?”
Setelah itu aku
benar-benar diam. Semakin bingung dengan apa yang telah terjadi. Eja? Ngelamar?
“Hmm i think i
need sometimes to think Yah. Sekarang masih gak bisa jawab apa-apa. Terlalu
tiba-tiba.”
“Iyah boleh. Kamu
pikirkan dulu baik-baik yah sayang” Setelah mencium keningku, ayah dan ibu pun
pergi meninggalkan aku sendiri.
Duniaku seperti
sedikit tergoncang. Aku masih sedikit tidak percaya dengan apa yang baru ayah
katakan. Kenapa aku? Bukankah Eja harusnya memilih wanita yang jauh lebih
shalihah. Lebih banyak pengetahuan islamnya. Lagipula dia pasti tidak banyak
tahu aku yang sekarang. Memang dia teman kecilku. Tapi itu sudah lebih dari 10
tahun yang lalu. Sudah banyak yang berubah, baik di duniaku maupun di dunianya.
Sejuta
pertimbangan langsung menyerang bertubi-tubi. Dititik ini aku baru saja akan
memulai perjalanan karirku. Jika aku putuskan menikah, berarti agenda hidupku
harus di rombak ulang. Tapi, sebegitu sombongnyakah diri ini ingin mengambil
alih dalam mengatur takdir Illahi Rabbi? Astaghfirullah. Kemana harus
kulangkahkan kaki ini?
Eja? Kenapa
tiba-tiba? Setelah aku sempat menyangka bahwa namaku sudah tidak tertulis lagi
dalam daftar hidupnya. Setelah aku mengira ia tak perduli lagi untuk mengikuti
perkembangan hidupku. Bukankah bahkan selama sepuluh tahun aku di Bosto, sangat
jarang ia menghubungiku? Bahkan sebulan aku di Jakarta, hanya dua kali aku
bertemu muka, keduanya tidak lebih dari 15 menit. Aku sedikit ragu. Apa
alasannya dibalik niat mulia ini? Apa alasannya?
Tiba-tiba
handphone ku bergetar. Ada sms masuk.
Istikharah yah Sa.
–Eja-
Air mataku segera
menetes, tak mampu terbendung lagi.
***
Dua minggu
sesudahnya aku lebih banyak berkomunikasi dengan Eja. Hanya melalui e-mail
karena Eja sedang berada di semarang. Ia banyak menanyakan rencanaku kedepan,
begitupun sebaliknya.
Kenapa kamu ingin
menikahi aku, Ja? Kan kamu sama sekali belum tahu aku yang sekarang. Sepuluh
tahun waktu yang cukup lama loh Ja untuk merubah pribadi seseorang.
Siapa bilang aku
gak tahu kamu yang sekarang? 10 tahun, aku selalu mengikuti perkembangan hidup
kamu. Melalui Bunda. Melalui Ibu kamu. Aku tahu ada 5 jaitan di tangan kamu
karena kecelakan mobil 8 taun yang lalu. Kamu lulus dengan 3.85 GPA. Dosen
pembimbing desertation kamu sudah menerbitkan berpuluh-puluh buku tentang
psikologi anak. Dan ‘menikah’ belum ada di agenda hidup kamu.
Aku mengenalkan
Aisya pada kamu bukan tanpa alasan. Aku minta pada Aisya untuk mengutarakan
pendapatnya tentang aku, supaya kamu lebih tau tentang aku yang sekarang.
Memang dia juga tidak terlalu mengenal aku. Tapi rasanya ia pasti punya sedikit
gambaran mengingat kita sudah satu sekolah untuk waktu yang cukup lama. Biar
kamu bisa melihat aku dari pandangan orang lain. Supaya lebih objective.
Aku ingin calon istri yang mencintai Allah lebih dari apapun juga. Karena itu aku ingin kamu berkesempatan untuk mengenal Allah lebih jauh, dibantu oleh Aisya. Kalau saja usahaku gagal, niat untuk menikahi kamu pun akan aku berhentikan. Tapi ternyata Allah menempatkan hidayah itu di hati kamu Sa.
Aku ingin calon istri yang mencintai Allah lebih dari apapun juga. Karena itu aku ingin kamu berkesempatan untuk mengenal Allah lebih jauh, dibantu oleh Aisya. Kalau saja usahaku gagal, niat untuk menikahi kamu pun akan aku berhentikan. Tapi ternyata Allah menempatkan hidayah itu di hati kamu Sa.
Dari ibu dan
Aisya, aku dengar Salma yang sekarang selalu menunaikan sholat 5 waktu. Salma
yang setiap malam terbangun untuk melaksanakan Tahajud. Salma yang sudah
menjaga auratnya dari yang bukan muhrimnya. Salma yang menangis tersedu-sedu
ketika mendengar surat Ar-Rahman dibacakan.
Aku ingin
menikahimu karena Allah.
Pipiku terasa
basah. Dari bibirku terucap ‘Bismillah’. Ya Allah beri hamba kekuatan untuk
melangkah.
***
Sekarang aku
percaya ‘sahabat sejati’ itu ada. Aisya benar, merancang hidup dan beribadah
terasa lebih bermakna saat ada seseorang yang mendampingi.
Kadang aku bertanya,
“Ja kenapa kamu mencintaiku?”.
Jawaban dari
bibirnya pun selalu sama,
uhibbukum filLaahi
(aku cinta kepadamu karena Allah)
Langganan:
Postingan (Atom)