Selasa, 30 Oktober 2012

Ukhuwah sejati itu begitu indah

Dari notebook istirahatku sore ini ditemani iringan instrument mellouw abiss.              
             
Malam ini ketika berbaring diatas kasur. Handphone yang tergeletak diatas meja tiba tiba bordering dengan nyaring. Saat kuangkat dari sebrang sana terdengar suara seorang pria. Ternyata suara akh syukur. Akh syukur mengabariku jika ada seorang kawan pengajian kami di yisc alazhar sedang dirawat dirumah sakit pelni petamburan. Insani. Yah katanya insani. Akh syukur mengajakku untuk ikut menjenguk beliau kerumah sakit tersebut malam ini. Tanpa ada alasan akupun mengiyakan akan ikut. Akhirnya akh syukur membuat janji untuk bertemu denganku. Namun ternyata setengah jam kemudian akh syukur kembali menelponku katanya kalau dia datang menjemputku dikosan sepertinya enggak memungkinkan karena jalan arah salemba dan tanah abang macet banget. Akhirnya akh  syukur tidak jadi menjemputku namun tetap aku kesana tapi dengan akh shulton. Awalnya akh shulton tidak bisa ikut katanya malam ini masih ada kerjaan yang mesti ia selesaikan tidak bisa ditunda katanya. Katanya. Namun akupun mengatakan padanya Woi, taugak jika kita mengunjungi orang sakit pahalanya gedeloh. Akhirnya dia pun luluh layaknya batu es mencair diterpa panas matahari. ( gak lebai gitu kok. -_- )

Dari salemba aku dan shulton langsung berangkat menuju rumah sakit pelni. Tiba dirumah sakit. Aku berdua langsung keatas keruangan tempat kamar dimana insane tempati. Pas tiba. Waaa kok sepi. Gak ada anak anak, ketika kami berdua melihat suasana ruangan. Seorang suster yang tadi kami tanyai ruangan 513a katanya temennya udah pulang mungkin. Tapi saya gak yakin mereka belum pulang datang aja belum masa langsung pulang. Ketika kucoba menghubungi akh syukur lewat ponselku mereka ternyata sudah tiba namun masih ada dibawa dimesjid deket parkiran. Ketika tahu kami berdua sudah diatas berada didepan ruangan kamar insane, mereka langsung kaget. Karena kami berdua tiba tiba langsung uda ada aja di depan ruangannya padahal mereka merasa merekalah yang paling tiba duluan. Subhanallah, luar biasayah hubungan silaturahmi para sahabat sahabatku mereka saling berkejar pahala demi mensilaturahmi dan mengunjungi sahabat sahabatnya ketika dirawat dirumah sakit.  Saa terharu merasakan ikatan ukhuwah para sahabat sahabat pengajianku ini. Ketika diantara kita ada satu tubuh yang terluka maka semua tubuhnya akan merasakan sakit. Begitulah gambaran jalinan ukhuwah yang tumbuh dalam dada kami, semoga selalu terjaga selalu. Amin. Karena menunggu lama kawan kawan yang masih dibawah shulton pun  mendesakku agar masuk aja. Tapi aku bilang  sebentar lagi kita tunggu dulu aja anak anak yang dibawah keatas. Benntar lagi mungkin mereka keatas. Kataku. Namun karena belum juga muncul kami menunggunya lagi. Sembari menunggu dan shulton yang sedang sibuk memainkan jemarinya dituts bbnya. Kuperhatikan ada seorang ibu ibu yang sudah tua didorong oleh seorang suster diatas kursi roda. Ibu ini lewat dihadapan kami. Kulihat kaki kanan ibu dibalut perban dari ujung kaki hingga ujung pahanya. Dalam hati aku langsung bertanya ibu ini sakit apayah kasian. Kemana anak anaknya yang mengurusinya. Melihat ibu itu jadi aku jadi tiba tiba terdiam dalam Tanya. Dalam diamku hati dan pikiranku menjadi merenung. Melihat ibu itu yang didorong diatas kursi roda dan insane yang sedang tergeltak diatas kasur karena sakit yang mendera kepalanya. Renungan itu sangat mengena dalam setip sendi kehidupan kita. Betapa berharganya sebuah usia dan kesehatan yang dititipkan oleh allah kepada kita. Pergunakanlah masa sehatmu sebelum datang masa sakitmu. Pergunakanlah masa mudamu sebelum masa tua menyapamu.

Karena sulton trus mendesak akhirnya kami masuk keruangan insani dengan membuka pintu pelan dan berjalan mengendap endap agar suara sepatu kaki kami. Sebentar saya melongo dikedua tempat tidur yang masing2 dibatasi tirai. Namun belum sempat aku menemukan wajah insani aku langsung berkata  pada sulton. Akh bbmin dulu aja biar dia tahu. Takutnya ketika kita ketemu muka dengannya secara tiba2 dia tidak mengenakan hijab. Aku pernah dengar. Mungkin dia bisa kaget dan terbelalak menjerit. Enggak tau deh kaya gimana tuh ekspresi. Aku jadi mikir kita berdua ini udah kaya mau maling diruangan rawat insane ini. Jalannya aja nyampe mengendap endap seperti ini biar ketukan sepatu kami tidak terbentur keramik lantai. Namun yang menjadi pertanyaanku diruangan ini apa yang mau kami malingin misalnya jika kami berdua memang bener bener niat jadi maling. Misalnyaloh gak sebenernya. Malingin apayah mungkin malingin hatinya insani kaliyah, tapi apakah dapat dibagi dua. Hem hem. Jadi ngawur banged deh jadinya. Seorang akhwat yang biasanya mengenakan kerudung lalu ketika tanpa sengaja seorang pria yang bukan muhrimnya menemukannya tidak mengenakan kerudung ato hijab sang akhwat akan merasa ia sama saja telah ditelanjangi didpan pria tersebut. Betapa tidak. Kepala yang selama ini dianugrahi rambut sebagai mahkota terindah dari seorang wanita yang selama ini telah lama ia baluti dengan hijab agar tak ada yang boleh memandangnya kecuali sang muhrimnya saja. Kenapa seorang wanita diperintahkan agar ia membalut setiap tubuhnya dengan kain kecuali telapak tangan dan wajahnya aga

Agar ia dapat dijual mahal dimata orang yang melihatnya. Kenapa berlian berkilauan sinar terpancar dari tiap sisinya. Karena ia terbungkus oleh tanah dan tak pernah tersentuh oleh tangan tangan manusia.

Kenapa mutiara begitu mempesona karna terpendam dibawah lautan dalam. Waduh obrolan saya dalam tulisan ini sudah semakin jauh dari judul tulisan.

Eniwei, kita balik ke judul tulisan ini. Sulton membbmin insani. Kata insani lewat bbm sulton langsung masuk aja kalimat yang diperlihatkan sulton kesaya dilayar bbmnya. Kamipun kemudian kembali masuk keruangan dan mendekat ke ujung ranjang insan i terbaring. Walaupun terbaring dengan kepala yang berdenyut dan tangan yang terjulur diatas seprei putih dan sebuah infusan terpasang ditangan kanannya. Bibirnya tak henti tersenyum menyambut kami dengan penuh keceriaan. Sultonpun membalas senyuman yang tak kalah manis ke arah insani. Sejenak aku memandangi punggung tangan insani yang bengkak dengan tonjolan seperti bulatan kelereng posisi dimana suntikan infus ditancapkan. Kasian. Pasti sakit banget rasanya. Pantas saja insani tak mau banyak gerak karena jika gerak sedikit saja sakit yang terasa dipunggung tangan kanannya nyerinya akan menjalar. Tapi ketika tadi baru masuk keruangannya insani agak malu malu gitu dan langsung menarik selimut dan menutupi wajahnya. He.
 Aaaa aam. Jadi repot repot dateng. Katanya.

Hampir sepuluh menit kami ngobrol bertiga tiba tiba dari depan pintu muncullah hufron membuka pintu pertama kali lalu disusul oleh sahabat sahabat kami yang lain satu persatu memasuki ruangan hingga ruangan menjadi penuh Hufron, Muri, Ainul, Rizka, Ana, Syukur, Dimas, Budi, ( satu lagi akhwat saya lupa namanya entah kenapa beliau memanggil saya dengan apaa gitu saya lupa namanya. Jos cos apa gitudeh ribet namanya dan akupun sudah lupa) malam ini Sahabat sahabat kami menyambut insani dengan senyum hangat dan ceria hingga membuat ruangan disini menjadi gaduh. Rame .Tapi asyik. He. Diseblah insani sebenernya ada lagi satu pasien yang terbaring seorang ibu ibu. Dalam ruangan ini ada dua ranjang yang disediakan untuk 2 pasien. Sambil ngobrol ngalor ngidul sebagian sudah siap mengambil foto. Jeprat jepret terutama akh dimas yang sejak dateng ditangannya udah stanby kamera. He. Gak jugadeng. Piss akh dimas. He. Selain akh dimas aku juga sih yang ngikut ngikut ngambil gambar. Kembali aku jadi mikir sebenernya kesini mau jengukin insane atau narsis narsisan. He. Akh dimas mencoba menjepret kamera yang ada ditangannya kerarah kami. Namun entah mengapa mungkin karena mencari posisi yang pas untuk mendapatkan gambar yang baik akh dimaspun langsung menyingkapkan tirai sebagai pembatas antara tempat insani dan pasien ibu tersebut. Sepintas pun ibu yang tengah terbaring diatas kasurnya terlihat oleh beberapa diantara kami yang berdiri dekat pintu. Namun dimaspun langsung menarik kembali tirai tersebut. He, gara gara mau foto nyampe harus rusuh gituyag. He. Ketika kami keluar diruangan insani hendak mau pulang beberapa perawat lewat dihadapan kami. Dari ekspresi wajahnya aku dapat menangkap ada sebuah pertanyaan yang terlintas dibenaknya ketika memperhatikan kami keluar dari ruangan insane secara bergerombol. Pertanyaan yang tersembunyi dipikiran para perawat itu ternyata aku dapat menyingkapnya. Dipikiran mereka pasti bertanya Tanya. Ini orang orang masuk keruangan pasien rame rame gitu. Itu mau jengukin orang sakit atau mau tauranyah. He. Mulaideh jadi sotoy soto ayam. He.



































Kamis, 18 Oktober 2012

Rabu, 17 Oktober 2012

Bapak tua yang berjuang ngumpulin koin receh demi sesuap nasi.....................

Kerasanya Perjuangan Hidup……….

dalam perjalanan pulang kekosan diatas motor. sepanjang perjalanan kramat salemba seringdeh nemuin bapak tua itu berdiri ditepi jalan bersama plang papannya untuk menyetop setiap mobil yang lewat. berharap ada mobil berhenti dengan isyarat tangannya. Dan mobil itu mau dicat duko oleh sibapak. Namun yang bikin kasian sibapak itu uda tua. Kalo ngeliat sesuatu dengan matanya, matanya itu sering dipicingan mungkin biar  jelas kaliyah setiap ngeliat mobil yang lewat. Kok gak pake kacamatayah, setahu aku kalo mata gak jelas ngeliat terus dipaksain ngeliat nyampe sering dipicingin gitu jadinya minusnya bakal tambah gede. Kasian. Terus Kalo tiap hari berdiri di pinggir jalan seperti itu jadi mikirdeh bakal berapa banyak debu yang akan ia hirup. Terus lagi kalo gak ada mobil yang berhenti mau dicap duko sama sibapaknya. Artinya sibapak tersebut enggak dapet uang buat membeli sesuap nasi. Tapi hanya dapet ratusan debu yang ia hirup.
l


Terima kasih banyak, penghargaan itu untuk kalian semuanya ^^

Pada Januari mas Bambang, salah satu asisten produser program Kick Andy Hope yang pernah meliput saya pada Oktober tahun lalu tiba-tiba memberi kabar bahwa ia akan memberikan kejutan lagi. Satu minggu kemudian dia memberitahu saya sebuah kabar berita yang membuat saya bengong, yaitu saya masuk nominasi untuk penerima salah satu penghargaan Kick Andy saat ulang tahunnya yang ke-6. Saya hanya bisa menjerit dan bilang “Kagggeeetttt…” tanpa bisa mengutarakan lagi rasa senang dan tidak menyangka pada tulisan untuk membalas berita dari mas Bambang.

Mas Bambang adalah lulusan sejarah Undip angkatan 2005, seumuran dengan Puad. Mas Bambang ini baik sekali, tapi suka iseng. Isengnya suka ngasih saya kejutan dan bahan becandaan yang membuat saya nyaman dan menyingkirkan pikiran jelek saya pada orang-orang pemburu berita dan bekerja di media massa. Saya langsung senang plus begitu melihat dan mengobrol dengan kru lain Kick Andy. Saya sempat berkomentar sesaat, “Oh, mungkin karena mereka dari program Kick Andy, makanya bersahaja semua orangnya, baik-baik, dan menghargai antar-sesama”.

Beberapa hari kemudian, mas Bambang memberitahu saya lagi bahwa dia tengah memperjuangkan posisi saya dengan nominasi lain, dan calon-calon nominasi lain dari program Kick Andy selama satu tahun yang sekategori, saya masuk kategori Young Heroes. Tolong dikoreksi barangkali saya salah. Dia bilang bahwa dia mengutarakan depan juri-juri tentang pentingnya belajar aksara kuno dan mempelajari kembali sejarah. Saya terharu mendengarnya.

Kemudian, satu lagi kejutan yang mas Bambang berikan pada saya. Yaitu, saya diundang ke acara pemberian penghargaan itu di Metro tv dan katanya semua nominasi yang berjumlah belasan itu diundang semuanya. Saya pun nurut. Dan bahkan saya tidak mengharapkan dapat penghargaan itu atau apa, masuk ke dalam nominasi 3 besar saja, kaget dan tidak menyangka. Beruntungnya saya diperhatikan oleh mereka (pikir saya). Lewat fesbuk mas Bambang menghubungi saya dan mengabari saya berita tentang masuk nominasi. Terakhir, ia memberi link tentang berita itu di website Kick Andy.

Setelah saya melihat isi berita website itu, hal yang paling membuat saya kaget adalah para juri yang notabene adalah idola saya semua. Romo Muji, Imam Prasodjo, dan Komarudin Hidayat. Tangan saya langsung gemetaran ketika membaca nama dan latar belakang mereka. Minder pun muncul tatkala melihat nominator lain yang hebat-hebat. Orang-orang yang keren. Saya pun semakin menjauhkan pikiran saya tentang mendapatkan penghargaan itu. Ah, gak mungkin.

Belasan Februari saya berada di Perpustakaan Nasional selama 4 hari. Saya kabari mas Bambang dan dia ternyata ingin menghampiri sambil bawa wartawan Kick Andy magazine untuk wawancara. Saya meminta mereka datang saja di hari Rabu, ke Perpusnas, karena saya sedang mendata ulang naskah-naskah kuno koleksi sana.

Mas Bambang pun datang, sambil membawa bencandaannya yang khas, saya heboh di tempat yang seharusnya sepi. Kang Aditia karyawan Perpunas juga ikutan nimbrung dan kami mengobrol banyak halngalor-ngidul setelah wawancara dengan KA magazine yang katanya akan publish Maret ini. Mas Bambang juga menawarkan saya dan kawan-kawan yang menemani ke Perpusnas untuk nonton program KA langsung di studio Metro tv. Wah, saya senang sekali bisa dapat kesempatan itu, apalagi sepulang dari sana saya bawa banyak oleh-oleh. Buku, dan lainnya. Episode yang saya tonton itu tentang film 5 Menara.

Tanggal 25 Februari saya disuruh datang kembali oleh teman-teman KA, saya mendapat undangan dari mereka. Sayangnya ketika ingin membawa teman-teman kelas Aksakun ke Jakarta, ternyata kuota undangan dibatasi sampai 3 orang. Entah kebetulan atau tidak, saya memang betul-betul tidak punya uang untuk berangkat ke Jakarta sekalipun. Laptop saya digadaikan di Pegadaian resmi untuk uang bulanan saya bulan Februari. Pada saat Sabtu itu tanggal 25 Februari saya bingung, sementara mas Bambang bilang bahwa ongkos akan diganti dari Metro nanti. Akhirnya saya mendapatkan ongkos dari ibunya Puad (karena Puad yang ingin menemani saya), dan dari kawan dekat saya kang Gigi.

Saya pun bisa berangkat ke Jakarta dengan kereta. Kenapa memilih kereta? Karena saya dan Puad ingin menikmati perjalanan romantis. Pemandangan dan suasana naik kereta itu jauh lebih romantis dan menyenangkan daripada lewat tol Cipularang. Sesampainya di Gambir, adik saya pun mengirim saya uang untuk menambah-nambah ongkos pergi. Hehehe, saya betul-betul tidak punya uang saat itu, karena biasanya saya mendapatkan uang bulanan dari Wanus dan Penerbit Ombak, tapi entah kenapa mereka kompak menghentikan itu pada bulan Januari. Sepertinya ada yang salah dengan saya sehingga mereka berhenti memberi saya funding bulanan. Tidak apa, pikir saya. Pelajaran pertama saya tentang pemasukan keuangan bulanan saya. Oneday, saya akan bekerja dan mengabdi pada sebuah pekerjaan yang memang saya akan lakukan dan nyaman buat saya. Kalau ke Penerbit Ombak, saya yang meminta untuk tidak dikirim mulai bulan ini. Saya masih bisa terus melangkah ke depan kok, sambil senyum-senyum sendiri.

Sesampainya di studio Metro tv saya kaget banyak sekali foto-foto yang dipajang di sana. Termasuk wajah saya yang kebetulan sedang memegang laptop. Saya rindu laptop itu, laptop kesayangan saya, teman tidur saya. Saya pun menangis depan bingkai foto yang ada wajah sayanya bukan karna ada foto saya di gedung Metro tv ini tapi karna saya rindu dengan laptop saya. Ia bagaikan sebelah jiwa saya. Ketika dijauhkan seperti ini rasanya seperti kehilangan. Saya juga pernah menggadaikan laptop saya dulu tahun 2009 untuk membayar uang kuliah semesteran di pascasarjana.

Di lobby bawah gedung depan tempat acara KA Awards diadakan, saya berkeliling dan sempat foto-foto dired carpet (atas suruhan mas Bambang, sambil disuruh menunggu). Saya dan Puad senyum-senyum sendiri saat kami foto di depan foto saya yang besar. Saya becanda sama Puad, maaf ya, maklum saya kan dari desa, suka pengen difoto di tempat begini, apalagi depan muka saya sendiri, apalagi beneran ada karpet merahnya juga seperti yang mas Bambang bilang akan disambut dengan red carpet. Dasar ya.

Anehnya, saya melihat ada tempelan double-tip di bawah nama saya, saat saya buka ada tulisan Young Heroes. Jantung saya langsung, deg. Kok ditulis ini? Saya perhatikan foto-foto lain, khususnya 2 nominator yang sekategori dengan saya tidak ada double-tip-nya. Saya punya firasat buruk sama mas Bambang, bahwa dia mau ngasih saya kejutan lagi. Dikasih kejutan kok malah difirasati buruk sih? Soalnya mas Bambang itu pernah buat saya nangis saking kagetnya gara-gara syuting KA Hope. Saya sampai terbata-bata dan tidak bisa ngomong di depan orang banyak, apalagi bang Andy F. Noya sendiri. Itu kan menyebalkan (bukan dalam arti yang sebenarnya), sudah bikin saya kikuk, gemetaran, tak ada persiapan, dan sebagainya. Firasat buruk di sini dalam arti yang konotatif loh ya, bukan suudzon.

Hal yang aneh lagi adalah saya disuruh berdandan, diajak ke ruang tatarias dan saya langsung dikerjakan oleh dua orang yang selalu bertanya, saya ini siapa? Saya jawab, saya tidak tahu siapa saya, dan sebagai apa di sini. Dua perempuan yang menghias saya pun ragu-ragu dan bingung. Hihihihi. Saya senyum-senyum saja plus mewanti-wanti, “Mbak jangan tebal-tebal dong mbak. Please.” Tapi dibalas dengan saya dinasehati kalau sebaiknya diam saja karena kalau di depan layar kaca itu muka berdandan akan terlihat biasa saja. Saya pun ngikut saja. Karena saya dikepung dan tidak bisa kabur dijaga juga sama beberapa karyawan KA. Puad tertawa puas melihat hasil dandanan saya. Saya semakin malu dan canggung berada di depan banyak orang dengan tampilan seperti ini.

Posisi duduk saya pun diatur sedemikian rupa bersama nominator yang lain. Awalnya saya duduk santai saja. Tapi lama-lama kok ada hal aneh lagi. Kalau memang benar kata mas Bambang itu semua nominasi diundang. Saya menghitung orang-orang yang didandani juga. Kok hanya 7 orang ya? Kan harusnya belasan. Mampus aku, masa sih aku harus ke depan panggung. Di depan banyak orang yang saya hapal muka-muka mereka dari layar kaca. Duh, jantung saya makin deg-degan. Saya perhatikan satu persatu penonton yang ada: A. Fuadi, Andrea Hirata, Adnan Buyung Nasution, 3 juri yang saya takuti plus kagumi, Yayang C. Noer, Anies Baswedan, pemilik Mustika Ratu, dan sebagian besar mungkin pengusaha-pengusaha dan undangan khusus acara KA ini. Saya semakin gugup berada di tempat seperti ini. Tidak biasa.

Acara pun di mulai, satu persatu orang-orang yang duduk di dekat saya dipanggil satu-satu dan diberi penghargaan. Pertama Chanee dari Perancis, terakhir kang Dadang dari Tasikmalaya, posisi kang Dadang di sebelah Puad. Jantung saya semakin bedegup kencang. Ditambah lagi ada salah satu pengatur acara menghampiri saya dan berbisik, “Nanti jarak mik-nya satu jengkal ya.” Hah, kenapa kasih tahu saya? Memangnya saya bakal maju ke depan. Orang itu dengan muka serius bilang, “Ya, kamu maju ke panggung”. Mampus, mampus, saya memaki dalam hati. Tapi ada kagetnya juga, wah, masa? Aduh, gila. Aduh. Mas Bambang pun sukses membuat saya menjadi seperti ini lagi. Blank untuk yang kedua kalinya.

Anies Baswenda pun tampil di panggung dan mempersilahkan yang hadir melihat video dan menyebut nama saya. Jantung saya seperti berhenti, dan mata saya berkaca-kaca melihat video itu. Perasaan yang sama ketika melihat liputan Oasis dan KA Hope tahun lalu kembali merasuk jiwa saya. Saya tersenyum lebar dan gugup sepanjang perjalanan menuju panggung, ketika pak Anies memanggil nama saya. Seolah-olah ketika saya berjalan, ribuan mata sedang menatap saya, memperhatikan saya. Saya betul-betul mau pingsan. Saya gugup. Gemetar, sakit perut, mules, mata berkunang-kunang. Pokoknya saya mau kabur dan lari ke gunung untuk menyendiri.

Setelah menerima simbol penghargaan dari KA Heroes dengan kategori Young Heroes dari tangan pak Anies langsung menambah saya bingung, kikuk, malu tapi bersyukur dan senang, dan blank. Saya bingung mau ngomong apa. Mas Bambang sukses buat saya begini lagi. No. Saya pun berusaha sekali mengucapkan beberapa kata, yang saya tidak tahu itu nyambung atau tidak. Dan tidak berani menatap mata-mata yang ada di depan saya. Kecuali yang saya bisa saya lakukan adalah pada saat ketemu mata bang Andy, senyum saya lebar sekali, ditambah dengan acungan jempolnya. Saya merasa ada ketenangan di sana, yang diberikan bang Andy. Mata para juri yang terus menatap saya. Betul-betul mirip kondisi ketika ditodong dengan senjata. Tidak bisa bergerak sedikitpun. Kira-kira rasanya seperti itu. Berkali-kali saya mengucapkan terima kasih yang diberikan untuk semuanya, saya tidak sanggup menyebutkan nama satu-per-satu, orang-per-orang, karena saya betul-betul tidak sanggup berbicara banyak. Gagap.

Hal yang paling banyak saya lakukan adalah senyum, banyak senyum, berbicara hanya 3 kalimat, paling banyak mengucapkan terima kasih kepada semuanya. Semua yang telah membantu saya sampai ada di sini. Kepada penyakit saya yang saya anggap musibah lalu saya sadar bahwa itu merupakan anugerah (kalimat ini yang saya sesali kenapa tidak selesai, harusnya merupakan anugerah yang membuat saya sadar bahwa hidup ini bermakna setelah mengingat kematian). Saya seperti orang yang mau pingsan mungkin dilihat oleh banyak orang.

Saya ingin cepat-cepat turun dan kembali duduk di posisi saya. Sambil membawa semacam “piala” simbol penghargaan yang berat itu, saya berjalan menunduk dan terus tersenyum, seolah tidak ada keberanian untuk menatap balik mata-mata itu. Saat duduk saya menghela napas panjang sekali. Lega. Dan hal yang membuat saya kembali riang dan berwarna lagi ketika disuruh ke depan semua penerima penghargaan disambut jatuhnya bintang warna-warni (kertas-kertas) dan balon. Ya, balon. Saya senang sekali ada balon di sana. Banyak lagi. Rasanya saya adalah makhluk paling ceria dan beruntung di dunia ini. Saya menerima ucapan harapan agar terus bersemangat dengan melakukan apa yang sudah saya lakukan lewat orang-orang yang menyalami saya. Bahkan pak Komarudin memanggil nama saya untuk mengajak salaman saat saya sedang asyik melihat jatuhnya balon-balon itu. Saya canggung plus senyum lebar saat pak Imam meminta foto bareng. Duh, malu.

Setelah acara selesai kami dipertemukan dengan ketiga juri dan bang Andy yang khusus mengucapkan selamat dan mengobrol banyak hal. Bertanya satu persatu-satu dari kami. Saling memfoto dan saya sibuk menenangkan diri saya. Senyum, bengong, kagum pada yang lain apalagi dengan juri-juri. Tidak pernah menyangka sebelumnya saya akan berada di sini saat itu. Saya ingin menarik Puad untuk mengajak bersama-sama bengong dan mengagumi semua orang di sini. Saya canggung sekali menjawab pertanyaan-pertanyaan pak Imam dan Romo Muji. Duh, malu. Saya kadang suka menyesal setelahnya kenapa sih diam saja, kenapa tidak banyak omong? Tapi saya selalu berusaha memaklumi sikap saya yang kaku dan canggung terhadap orang baru apalagi orang yang saya idolakan. Saya menjaga jarak sekali, entah kenapa. Tapi saya berusaha untuk berusaha rileks dan santai. Juga tidak menjengkelkan. Mudah-mudahan.

Setelah berkumpul di ruangan tersebut, satu persatu kami pamit dan saling bersalaman. Waktunya pulang, tapi saya seperti terus menampar diri kok seperti mimpi, ayo sadar Sinta! This is a real-life. Saya pun akhirnya meninggalkan gedung yang memberi saya kenang-kenangan hidup yang luar biasa besarnya dalam hidup saya. Saya pun ikut numpang kendaraan Ginan ke arah Bandung. Keberuntungan yang lain, bisa pulang langsung ke Bandung (sebelumnya saya dan Puad bingung mau pulang naik apa, karena jadwal kereta sudah tidak mungkin dengan pulang jam 10, plus travel juga belum tentu ada). Beruntung sekali ketika saya bertanya pada Ginan naik apa, dan dia menjawab bawa kendaraan sendiri. Duh. Saya pun sedikit malu-malu meminta ikut bareng nanti pulangnya.

***

Selama perjalanan Jakarta-Bandung, melewati Cipularang sekitar jam 11 malam. Saya duduk di jok belakang, posisi saya sengaja berada di tengah. Agar bisa berhadapan langsung dengan jalan malam yang diberi cahaya oleh lampu kota dan lampu jalan. Sebuah perjalanan lurus dan panjang yang saya anggap sangat tepat untuk merenung dan bersyukur. Maka saya pun melakukan sebuah ritual. Yaitu merenung pada sebuah perjalanan. Merenungi apa yang telah terjadi selama satu hari ini.

Selama perjalanan panjang dan gelap itu, ditemani rintik-rintik hujan, Ginan yang tidur di jok depan, saudaranya Ginan yang serius dan fokus menyetir, dan Puad yang senyum-senyum sambil merem-merem ayam. Saya ditemani mereka semua, langit, hujan, lampu, cahaya. Seolah-olah perjalanan saya ini menuju ke sebuah titik cahaya. Semacam flash-back, mengingat apa yang sudah saya lakukan apa sudah betul? Apa saya masih kurang memperhatikan hidup saya? Apa saya ini itu dan sebagainya. Satu sisi saya menyesal tidak sempat mengucapkan terima kasih kepada siapapun. Bukan, bukan tidak sempat. Tapi saking gugup dan jantung saya berdegup kencang sekali seolah terdengar oleh mikrofon dan memberitahu bunyi jantung saya kepada yang hadir kala itu. Rasanya seperti itu. Saya memang tidak cocok jadi vokalis band ^^

Mungkin di sinilah tempatnya, di kertas ini, saya harus menulis semua yang ingin katakan pada saat di atas panggung itu namun tidak sampai saya ucapkan. Saya hanya bisa mengetikkan perasaan saya, saya tidak sanggup berkata banyak, mohon maklum. Saya sangat bersyukur diberi sebuah penghargaan kategori Young Hero, padahal saya sudah tidak muda lagi. Tapi saya berharap pemuda dan pemudi Nusantara di sini dapat menerima bahwa yang diberikan pada saya sebuah “penghargaan ini” merupakan penghargaan untuk kalian semua wahai penerus bangsa yang memiliki semangat dan rasa kasih sayang antar makhluk hidup. Saya juga tidak lupa berterima pada Penguasa Alam Semesta, Bapak di langit, dan Ibu di bumi. Tanpa kalian saya tidak mungkin ada.

Sama seperti Ginan, saya mengucapkan terima kasih untuk diri sendiri yang sudah mau melawan rasa sakit dan kata-kata menyerah. Tidak lupa kepada kelas Aksara Kuno, teman-teman yang mau datang dan belajar bersama, teman-teman yang tulus datang dan tersenyum demi Aksakun ini sejak 2009 hingga sekarang. Tanpa kalian saya juga tidak akan ada, untuk semua yang sudah membantu keberlangsungan kelas ini, pak yayasan dan GIM (tempat belajar), kepala sekolah, teman-teman. Puad yang selalu menemani saya, berdiskusi hal apapun, yang suka menyoraki saya dengan perlengkapan pom-pom boys dan kata-kata yang menyemangati hidup saya dan kembali menjadi diri yang tidak ringkih. Terima kasih atas cinta yang tulus.

Kemudian bu Titin dosen filologi Unpad dan kawan-kawan yang sudah bersusah payah membantu saya agar bisa lulus (tidak dikeluarkan) dari program pascasarjana ini, Bilven, Ilham Aidit, Andi Daging, Gigi dan kang Zimbot, pak Dekan, pak Ganjar Kurnia, bu Elli, kang Godi Suwarna, Ahda Imran, dan lainnya yang berjuang untuk tetap mempertahankan cita-cita saya menjadi seorang filologi yang sebenarnya. Saya sangat berhutang sekali pada kalian semua. Juga kepada om Heru yang sayang sekali kita belum sempat saling mengenal satu sama lain, dan memahami satu sama lain. Terima kasih atas bantuannya selama ini. Juga teman-teman di komunitas Ujungberung Rebel yang beberapa orang selalu berada di samping saya saat saya berkreasi dan menjalani kelas Aksakun: kang Wisnu, Kimung, Man Jasad, dan lainnya. Terima kasih. Juga kepada Penerbit Ombak dan bang Nursam yang sudah mau mencetak buku Berteman Dengan Kematian pada 2010 dan hingga tahun ini sudah masuk cetakan ketiga, semoga bisa cetak sampai puluhan kali, biar saya bisa beli sawah dan kebun. Tidak lupa juga kepada yang sudah sudi membeli buku BDK, terima kasih sudah mau membacanya, meluangkan waktu dan uang untuk buku BDK ini, terima kasih sudah membuatnya menjadi buku best seller.

***

Young Hero adalah penghargaan untuk kategori pemula, untuk yang muda. Muda, budak anom. Anak kecil yang tidak mengetahui apa-apa. Harus banyak belajar, dan terus belajar. Saya mendapatkan ini bukan berarti perjalanan saya sudah selesai, tapi baru mulai. Ya, saya baru memulai perjalanan, masih banyak hal yang masih saya cita-citakan, masih berwujud dalam mimpi. Misalnya seperti pendataan naskah dan aksara kuno se-Nusantara. Jalan saya masih panjang, doakan ya kawan-kawan, agar saya selalu sehat dan semangat. Terima kasih, penghargaan ini untuk kalian semua. Kepada Kick Andy, bang Andy F. Noya, para sponsor, mas Bambang dkk, Metro tv, mbak Rere dan Oasisnya dulu, dan masih banyak lagi, terima kasih banyak. Terima kasih. Terus menjadi semangat bagi hidup saya.

Kalian semua, teman-teman di Nusantara, adalah inspirasi saya. Saya bersungguh-sungguh mengucapkan terima kasih atas kesempatannya, anugerah, dan kepercayaannya. Hal-hal ini akan terus menjaga semangat saya dan mendukung saya untuk terus dan tetap berkarya. Karya yang keluar dari hati dan diperuntukkan pada kalian semua, alam semesta, dan negeri ini.

***

Apabila teman-teman ada yang melihat tayangan KA Heroes 2012 tadi, sambil memperhatikan baju yang saya pakai. Ya, yang berwarna pink berenda itu. Pakaian atas yang saya pakai adalah baju ibu saya. Baju pertama yang diberikan ayah saya ketika mereka berpacaran sekitar tahun 1983. Baju itu selalu saya pakai pada beberapa momen yang saya anggap memerlukan kehadiran ibu saya. Tanpa saya sadari baju ini yang lagi-lagi saya pilih untuk saya pakai pada acara tadi malam. Awalnya saya sudah menyediakan baju batik yang cantik, tapi saya tanggalkan, dan memilih baju klasik ini. Ibu saya sempat sms dan bilang, "Baju yang dipakai itu baju mamah yang dikasih papah dulu ya?"

Baju itu saya ambil di almari ibu, ketika menemukannya sepasang dengan rok kotak-kotak merah saya langsung ambil, saya tidak tahu sejarahnya baju itu. Saya ambil karna saya suka bentuknya. Beberapa kali saya pakai saat bekerja di lembaga pendidikan tahun 2008. Kemudian untuk yang kesekian kali secara berturut-turut baju itu saya pakai saat mendaftar ulang kuliah S2 di Unpad sambil foto kartu tanda mahasiswa. Kemudian saya pakai baju itu saat saya sidang ujian proposal tesis. Saat saya sedang mempersembahkan usulan penelitian untuk kajian filologi saya. Kemudian baju ini juga saya pakai saat ujian/sidang akhir Agustus 2011. Dan kalian tahu? Baju ini juga saya pakai saat difoto untuk foto yang ditempel pada ijasah S2. Lalu, saya pun kembali pakai baju pink ini tadi malam. Ya, saat menerima penghargaan tadi. Kenapa? Apa saya tidak punya baju lagi? Tidak-tidak, bukan itu alasan saya kenapa selalu memakai baju ibu saya itu, yang kebetulan ngepas di badan saya.

Sama seperti ketika menyentuh naskah-naskah kuno. Saya, hidup di masa sekarang kenapa harus baca-baca lagi catatan yang sudah lampau, ratusan tahun lalu. Saya, yang hidup di masa kini yang menghadapi permasalahan yang sudah pasti ada akarnya/ada titik start-nya. Kenapa saya ingin memegang-megang naskah? Bukan hitungan akuntasi dan manajemen, peralatan teknologi yang maju, dan berjalan-jalan di mall? Atau menjadi pegawai bank? Alasan saya mungkin, saya ingin belajar banyak dari masa lalu itu. Bukan berarti selalu mengandalkan ilmu masa lalu adalah sesuatu yang pasti benar. Bukan.

Melainkan, saya ingin merasakan sesuatu yang kala itu terjadi lewat naskah kuno. Sama seperti yang saya lakukan ketika memakai baju ibu saya pada momen tertentu. Yaitu ingin merasakan perasaan ibu dan ayah saya pada waktu itu, tahun 1983, waktu sebelum saya ada itu bagaimana. Pasti ada yang saya pelajari dari baju ini, bukan sekedar bentuk bajunya yang kembali nge-trend masa kini, vintage. Tapi saya ingin merasakan ada kejadian/momen apa yang terjadi ketika baju ini ada di tangan ayah dan ibu saya. Apa yang terjadi pada waktu itu? Apa yang dilihat oleh baju itu? Dia adalah saksi mata dari bersatunya ayah dan ibu saya. Ada satu alasan lagi, saya ingin menghadirkan keduanya, berada di samping saya, di masa-masa tertentu itu. Serasa dipeluk oleh keduanya saat saya memakai baju itu.

Saya merasakan hal yang sama ketika sedang menatap naskah-naskah kuno tersebut.

Ujungberung, 11 Maret 2012
Sinrid

Selasa, 16 Oktober 2012

Karena Sang Maha Pencinta

Awal musim gugur, 20
12

Dear Boston,

Besok aku pulang. Setelah 10 tahun berada jauh dari rumah, akhirnya saatnya untuk kembali lagi. Tentu saja aku senang, bisa kumpul lagi sama Ayah dan Ibu. Tapi juga sedikit takut. Semuanya akan berubah dalam seketika.
Di sini aku hidup sendiri. Semua aku yang mengatur. Mulai dari masalah makan, jam pulang malam, sampai keputusan-keputusan penting tentang sekolah dan hidupku. Namun sebentar lagi, aku akan kembali dalam pengawasan Ayah dan Ibu. Tapi toh itu bukan masalah, aku juga sudah sangat rindu di manja-manja lagi, jadi a little princess lagi di rumah.
Gak sabar rasanya ingin ketemu temen-temen main dulu. Pasti mereka sudah banyak berubah. Bahkan Mila, Tasya, dan Riri sudah menikah dan punya anak. Sisanya pada kemana yah? Eja? Apa kabar sahabatku yang satu itu? Setelah masuk kedokteran, sudah gak pernah ada kabarnya lagi. Paling cuma denger cerita dari Ibu yang masih sering ngobrol sama Bunda Rima, bundanya Eja.
Aku pulang karena ingin menepati janjiku dengan Ayah. Dulu sebelum berangkat ke Amerika, Ayah sempat bilang kalau aku adalah investasinya Ayah untuk Indonesia. Jadi kalau sudah jadi Psikolog, harus pulang lagi, supaya bisa ikut membangun bangsa. Aku merasa pengalamanku sudah cukup, sudah saatnya aku kembali, membagi sedikit ilmu yang sudah aku dapat dari sini.
Good Night Boston. I will miss your pretty blue sky.
***
Soekarno-Hatta, Jakarta.
Aku berlari-lari kecil ingin segera menghampiri dua sosok yang paling berarti dalam hidupku. Ayah melambai sambil tersenyum. Mata Ibu sudah basah oleh air mata bahagia. Setelah mencium tangan keduanya, aku segera menghambur kedalam pelukan mereka. Untuk sesaat kami hanyut dalam haru.
“Alhamdulillah, akhirnya anak ibu sampai juga. Gimana pesawatnya sayang? Lancar semuanya?” Tanya ibu sambil mengelus wajahku.
“Lancar kok Bu, tidur terus malah sepanjang perjalanan. Ibu kok tambah kurus aja sih? Salma jadi keliatan dua kalinya ibu.” Ibu mencubitku manja
“Capek yah tuan putri? Langsung ke mobil aja yuk. Oh iya malem ini kebetulan ada acara buka puasa bersama di rumah. Kita ngundang temen-temen ayah dan ibu. Sekalian kan mau ngenalin anak kesayangan ayah yang baru dateng. Mereka pasti kaget ngeliat Salma udah dewasa gini.” Kata ayah.
“Wah, Bunda Rima dateng juga gak Yah?”
“Dateng dong. Si ibu juga udah minta Reza supaya di ajak tuh. Pasti kamu udah kangen juga kan? Dia udah jadi dokter spesialis ginjal juga loh. Kadang suka gantiin ayah nanganin pasien, kalo ayah harus keluar kota.”
Senangnya bisa ketemu Eja dan Bunda Rima secepat ini. Apa kabar yah mereka?
***
Mungkin karena 23 jam perjalanan, sampai di rumah aku langsung ketiduran. Dua jam kemudian dibangunkan bunda karena hampir tiba waktu berbuka. Waktu aku mengintip dari pintu kamar, rumah kami sudah penuh berisi tamu-tamu. Cepat-cepat aku mandi dan bersiap-siap untuk menyambut mereka.
Baru saja hendak melangkah keluar kamar, tiba-tiba aku mendengar suara Adzan. Tapi suaranya begitu dekat. Bukan seperti dari tv. Aku segera keluar dari kamar. Ruang tamu sudah penuh berisi tamu-tamu yang sudah siap melaksanakan sholat Maghrib berjama’ah. Ternyata waktu berbuka sudah datang dari tadi. Di barisan depan, seorang laki-laki berdiri, sambil dengan indahnya mengumandangkan Adzan. Jantungku tiba-tiba berdetak lebih kencang. Pertama karena sudah lama sekali aku tidak mendengar suara menakjubkan panggilan sholat ini. Kedua, sosok itu sangat aku kenal. Meski dulu tidak setinggi dan segagah itu, tapi aku yakin, itu adalah Eja, teman kecilku dulu.
Selesai sholat, aku segera mencari-cari Eja. Ternyata ia sedang asyik ngobrol sama ayah, ibu, dan bunda Rima. Aku sedikit berlari-lari kecil, tak sabar ingin menyapanya.
“Ejaa.. Bunda Rima.. Waahh kangennya.” Aku segera memeluk Bunda Rima.
“Subhanallah Salma, kamu udah gede begini. Meni geulis pisan. Aduh Bunda itu udah kangen banget sama kamu. Tanya deh sama Ibu, tiap kali kerumah pasti nanyainnya kabar kamu terus. Apa kabarnya sayang?” Tanya wanita yang sangat ramah itu.
“Alhamdulillah baik Bunda. Salma juga kangen banget ngobrol-ngobrol banyak lagi sama Bunda Rima.” Jawabku.
“Iyah nanti kita jalan-jalan bareng deh yah, kalo kamu udah ilang capeknya.” Aku mengangguk. Eja hanya tersenyum melihat kami berdua.
“Hey Pak Dokter. Apa kabar kamu?” Tanyaku pada Eja. Aku tidak menjabat tangannya, karena aku sadar, ia sengaja memasukan kedua tangannya kedalam saku celananya. Suara adzan yang dikumandangkannya, peci di atas kepalanya, dan matanya yang berusaha tidak menatap wajahku, aku rasa sudah cukup menjadi isyarat tentang perubahan hidupnya selama 10 tahun terakhir ini.
“Alhamdulillah baik Sa. Congratulation yah, denger-denger udah jadi psikolog anak sukses juga.”
“Wah masih jauh kali Ja dari sukses. Baru juga mau mulai.” Jawabku.
Tiba-tiba handphone Eja bunyi, memutuskan pembicaraan kami. Ternyata ada sms masuk. Eja minta izin untuk menghubungi temannya sebentar. Akhirnya aku ngobrol lagi dengan Ibu dan Bunda Rima, sambil menunggu Eja selesai bicara dengan temannya. Tak lama ia menghampiri kami.
“Bunda, Ibu, Ayah, maaf banget, tapi Eja harus pamit sekarang. Tadi memang rencananya cuma mau mengantar Bunda sebentar, sekalian ketemu Salma. Kebetulan sudah ada janji sama beberapa teman untuk menghadiri pengajian di Masjid Al-Azhar. Insya Allah nanti Reza main-main lagi ke sini.” Setelah pamit, Eja pun pergi meninggalkan acara.
Akhirnya tamu-tamu satu demi satu pulang. Malam yang cukup melelahkan. Setelah ngobrol sebentar dengan Ayah Ibu, aku segera masuk ke kamar. Sebelum tidur, aku memikirkan pertemuan tadi dengan Bunda Rima dan Eja. Mengagumkan, 10 tahun bisa membuat seseorang berubah sedemikian rupa. Eja yang dulu selalu banyak bicara, sekarang lebih banyak diam. Yang tadinya sangat memikirkan penampilan luar, sekarang sungguh luar biasa sederhananya. Sebuah perubahan yang menakjubkan.
Aku tentu saja senang melihat keadaan sahabat kecilku itu. Seorang dokter muda yang cerdas. Anak yang sangat menyayangi dan menjaga bundanya, terutama setelah sang ayah meninggal. Dan, dari cerita ibu tadi, Eja semakin tekun mempelajari agama. Sebagai temannya, tentu aku juga ikut merasa bangga.
Tapi ada satu hal yang mengganjal di hatiku. Eja seperti jadi orang asing. Tidak seperti dulu, sekarang ia sangat menjaga jarak dalam berbicara padaku. Padahal aku kangen mendengar cerita-cerita tentang hidupnya. Aku kangen berdiskusi tentang berbagai hal lagi. Selama aku di Boston, aku selalu semangat mengikuti perkembangan Eja dari cerita Ibu. Tapi mungkin itu hanya perasaanku. Mungkin tadi karena baru bertemu sebentar saja.
Bersambung yah... soalnya panjang.. kasian bacanya nanti

Jakarta, November 2006
Mengecewakan. Jakarta sepi. Bosan. Semua orang sibuk mengurusi hidup masing-masing. Kemarin ketemu Mila dan Tasya. Tapi mereka sudah sangat berubah. Atau aku yang berubah? Yang jelas pembicaraan kami sudah beda. Mereka sibuk mendiskusikan masalah anak sakit, pembantu yang gak betah, suami yang pulang malam. Aku sendiri belum masuk ke dunia itu. Jadi bingung juga gimana nanggepinnya.
Yah memang pada akhirnya kita gak bisa mengharap bahagia dari orang lain. Sebentar lagi juga aku akan sibuk ngurusin dunia kerjaku yang baru. Jadi ragu, apa memang benar ada yang namanya ‘teman sejati’?
Aku meraih handphone ku.
Ja, apa kabar? Bosen nih, gak ada hiburan. Ja pengajian kamu di mana sih? Aku pengen belajar juga dong. Udah tambah tua nih, masih juga sibuk ngurusin dunia. Malu, kalah sama kamu.
Sent.
Seminggu ini aku semakin banyak dengar cerita tentang Eja dari Ibu. Ternyata, meninggalnya Ayah Yudi memang jadi titik awal buat Eja, memulai perjalanan spiritualnya. Seminggu ini aku pun sibuk membandingkan jalan hidupku dan Eja. Apa yang sudah aku dapat selama 10 tahun ini? Hanya sibuk mengejar impian-impianku sendiri. Tapi bagaimana hubunganku dengan Tuhan, yang sudah menganugrahkan semua nikmat ini? Lucunya, kenapa tiba-tiba aku jadi sibuk memikirkan Tuhan dan agama?
Handphone ku bergetar. Pasti balasan dari Eja.
Assalamu’alaikum Sa. Sorry aku lagi di Semarang. Baru balik sebulan lagi. Kamu bosen yah? Ya udah gimana kalo aku kenalin sama temenku. Namanya Aisya. Mungkin dia bisa ngajak kamu ke pengajiannya kapan-kapan. Sekalian ngisi waktu sebelum mulai praktek kan. Ini no nya...
***
Siang itu Jakarta panas bukan main. Sudah 20 menit aku duduk di restaurant itu sambil menikmati segelas lemon tea. Aku sedang menunggu Aisya. Seperti bukan aku yang biasanya, mau asal kenal sama orang asing, tanpa ada Eja yang lebih mengenal perempuan ini. Tapi mungkin karena aku sudah terlalu bosan, tidak ada teman ngobrol selama di Jakarta. Lagi pula kurang tepat juga kalo disebut ‘orang asing’. Dia kan temannya Eja. Dan Eja sahabatku.
“Assalamu’alaikum, Salma yah? Ya ampun maaf yah jadi bikin nunggu lama. Tadi sholat Dzuhur dulu di Musholah bawah. Oh ini yang suka Eja ceritain. Aduh cantiknya.” Tiba-tiba seorang perempuan berjilbab panjang sudah berdiri didepanku, dan menyapa dengan cerianya.
“Wa’alaikumsalam. Aisya yah? It’s okay, aku juga baru dateng kok.” Aku segera menjabat tangannya.
Cantik dan sangat ramah. Itu kesan pertama yang aku dapat. Pakaian muslimahnya semakin jelas menunjukan keanggunan perempuan ini. Aku lega, Eja sudah mengatur supaya aku bisa bertemu dengan Aisya.
“Gimana kesan-kesannya balik ke Jakarta lagi? Pasti pusing yah, ngadepin jalanan macet, polusi, sampe berita-berita politik dan ekonomi yang gak ada abisnya?” Aisya memulai percakapan.
“Hmm iyah agak sedikit harus adaptasi lagi. Tapi seneng kok, gimana juga Jakarta tetep rumahku. Aisya sekarang sibuk apa?”
“Aku baru mulai praktek di salah satu rumah sakit bersalin. Jadi baru adaptasi juga. Kata Eja, kamu juga akan mulai praktek di pusat penanganan anak autis yah? Wah menariknya.” Aku tersenyum.
“Sepertinya Eja udah cerita banyak yah tentang aku. Padahal aku juga belum sempet ngobrol banyak sama Eja lagi loh. Dia pasti tau berita-beritaku dari Bunda Rima atau ibuku.”
“Iyah dia sedikit cerita tentang kamu melalui email kemarin. Ternyata kalian tuh teman dari kecil yah. Sampe orang tuanya ajah udah saling kenal. Pasti seneng dong akhirnya ketemu lagi.”
“Justru kita kenal karena dulu Ayahku sama Ayahnya Eja praktek di rumah sakit yang sama. Seneng pastinya bisa ketemu lagi. Tapi baru ketemu sekali kok waktu buka puasa kemarin. Itu pun gak lama. Eja kayaknya langsung sibuk banget yah. Susah sih udah jadi Pak Dokter. Kamu kenal Eja di mana Sya?”
“Kita dulu sama-sama di Rohis waktu SMA. Terus kebetulan sama-sama masuk kedokteran juga. Denger-denger kamu tertarik ikut pengajian di rumahku?”
“Iyah, udah lama gak belajar agama. Semenjak di Boston, malah cuma sibuk ngurus kuliah.”
Aisya benar-benar teman yang menyenangkan buat diajak bicara. Sudah jelas, selain anggun, ia juga sangat cerdas. Pengetahuannya luas. Jarang ada seorang perempuan yang sangat mengikuti perkembangan dunia seperti Aisya. Selain itu pengetahuannya tentang Islam pun sangat dalam. Ia menjawab setiap pertanyaanku dengan jelas tapi tidak menggurui. Pelan-pelan tapi pasti aku semakin tertarik untuk mengikuti langkahnya, membina hubungan yang penuh makna dengan Allah Sang Pencipta.
Lucunya, dia selalu semangat membicarakan Eja. Sibuk bercerita tentang Eja sebagai seorang dokter, ketua Rohis, atau ketua senat. Intinya ia banyak menceritakan Eja yang belum pernah aku kenal. Aku kagum sendiri. Tapi juga agak sedih, karena sepertinya dunia aku dan Eja sudah benar-benar berbeda.
Aisya kadang bertanya pendapatku tentang Eja. Kenapa yah? Sepertinya dia semangat sekali. Mungkin perempuan anggun ini menaruh hati pada sahabat kecilku itu. Dan mungkin juga sebaliknya. Kalo dilihat kasat mata, memang mereka sangat serasi. Keduanya sama-sama dokter muda yang penuh potensi. Dalam masalah iman, mereka seperti sudah melangkah di jalan yang sama. Aisya juga perempuan yang sangat lembut dan baik hati. Aku ikut senang jika ternyata perasaanku benar.
Tapi benarkah aku ikut bahagia?
***
Sebulan ini aku banyak menghabiskan waktu dengan Aisya. Aku mulai rajin datang ke pengajian mingguannya. Bertemu dengan teman-teman Aisya yang lain. Perempuan-perempuan yang sangat istimewa. Kebanyakan dari mereka adalah teman kampus Aisya. Jadi rata-rata adalah dokter-dokter muda. Semuanya wanita yang cerdas dan mandiri. Tapi baru kali ini aku bertemu dengan wanita-wanita intelektual yang tujuannya satu, meraih Ridho Illahi. Sungguh, baru kali ini aku masuki dunia yang penuh dengan damai dan indahnya nuansa islami. Sepertinya aku jatuh cinta pada lingkungan ini.
Selangkah-demi selangkah aku coba menjelajahi Islam lebih jauh. Memperbaiki hubunganku dengan Sang Penggenggam Hati. Sunggu baru aku temukan berbagai keindahan agama yang sudah sejak lahir aku anut ini. Aisya dan teman-temannya selalu siap membantuku dalam belajar. Mereka menuntunku untuk lebih jauh mengenal Allah, Rasulullah dan Sunahnya.
Cintaku pada Rasulullah mulai merekah. Aku coba selami lebih jauh hidupnya. Air mata kagum dan haru menemani malamku saat menyusuri Sirah Nabawiyah. Aku kagum akan kesetiaan Siti Khadijah. Terpesona dengan kecerdasan Aisyah R.A. Menangis pilu membayangkan sabar dan teguhnya Khalid, Umar, dan Ali yang berjuang menegakkan Islam. Ikut bergetar membayangkan Adzan yang terlantun dari bibir Bilal. Ada sedikit sesal, mengapa baru sekarang aku mengenal mereka. Setelah hampir kulewati setengah hidup ini.
3:15 am, Sepertiga Malam Hari
Dalam sunyi hamba datang menghadapMu Illahi. Disaksikan gelapnya malam dan bintang-bintang. Aku bersujud memohon ampunan. Jangan lagi Kau tutup mata hati ini. Ya Rahman, Aku rindu padaMu.
Sesungguhnya kamu tidak akan dapat memberi petunjuk kepada orang yang kamu kasihi, tetapi Allah memberi petunjuk kepada orang yang dikehendaki-Nya, dan Allah lebih mengetahui orang-orang yang mau menerima petunjuk. (QS. 28:56)
Sejenak kutatap baju muslimah baru lengkap dengan jilbab putih yang sudah tergantung di pintu lemariku. Aku tersenyum. Tidak sabar menunggu untuk mengenakannya dan memulai langkahku yang baru.
***
“Salma, aku punya berita baik.” Kata Aisya di telpon siang itu.
“Wah ada apa nih Sya?” Tanyaku penasaran.
“Insya Allah dua minggu lagi aku sudah menjadi istri seseorang.”
“Alhamdulillah. Kok baru bilang sekarang? Siapa calonnya itu Sya?” Aku agak sedikit kaget.
“Memang belum lama juga kok Ma keputusannya. Nanti aku kasih tau lengkapnya yah. Sekarang masih harus menerima pasien. Assalamu’alaikum.”
“Wa’alaikumsalam”
Aku terdiam dalam tanya. Siapakah lelaki beruntung itu? Hanya ada satu nama yang muncul, Eja. Ternyata tebakkanku dulu tidak salah. Aku akan senang sekali jika ternyata pikiranku benar.
Tapi, benarkah aku ikut bahagia?

Bapak2 ibu2... bersambung lagi yah...



Bagian awalnya ada di postingan sebelumnya...
Lagi-lagi, siang itu Jakarta panas bukan main. Aku duduk menunggu Aisya dalam banyak tanya. Entah kenapa aku begitu yakin bahwa lelaki itu adalah Eja. Tanda-tandanya sudah jelas, Aisya sering sekali membicarakan kehidupan Eja padaku. Tapi apa artinya rasa gelisah di hati ini? Kenapa aku merasa sedih? Padahal Eja adalah teman kecilku dan Aisya sudah menjadi sahabatku. Mereka adalah pasangan yang sangat serasi dimataku. Tapi kenapa aku merasa tidak setuju? Mungkinkah aku cemburu?
“Assalamu’alaikum Salma. Maaf nunggu lama yah, tadi pasien terakhir telat datengnya.”
“Wa’alaikumsalam Sya. Ngga kok. Aduh calon pengantin, ngagetin ajah beritanya. Who’s the lucky guy Sya?” Tanyaku penasaran.
“Sabar dulu dong Salma sayang. Belum juga duduk, hehe. Belum juga sempet muji, kamu kelihatan kayak bidadari surga dengan jilbab itu.”
“Alhamdulillah, makasih Sya. Ayo sekarang cerita semuanya.” Aku semakin tidak sabar.
“Namanya Muhammad Iqbal.” Ya Allah, dugaanku salah. Seperti ada tetes-tetes embun pagi yang menyejukan hati.
“Kenal dimana Sya?”
“Dia sahabatnya Reza. Tadinya, aku sendiri cuma kenal dari cerita-cerita orang. Seperti juga aku tau tentang kehidupan Reza. Tapi sebulan yang lalu, kakak perempuannya, yang juga senior ku di kampus dulu, menghubungiku. Akhirnya kami memutuskan untuk menjalani proses Ta’aruf. Selanjutnya yah orangtuanya datang kerumah untuk melamar.”
“Wah i’m so happy for you sis. Jadi kamu sebenernya gak kenal deket sama Eja?”
“Ngga lah. Cuma tau gitu-gitu ajah. Dan denger cerita-cerita dari orang. Sampe waktu itu dia menghubungiku supaya berkenalan dengan kamu. Dia juga tau aku dari Iqbal.” Aku sempat diam tak bisa berkata apa-apa.
“Jadi gimana nih? Ibu psikolog kira-kira kapan?”
“Kapan apanya?” Tanyaku sambil tersenyum.
“Yah kapan mau ngelepasin ‘single status’nya?”
“Wah kapan yah? Belom kepikiran Sya. Ngurus hidup sendiri ajah baru mulai. Masih banyak yang mau di urus dulu.” Jawabku seadanya.
“Hmm yah harus mulai di pikir dikit-dikit lah Salma sayang. Lagian apa lagi sih yang mau dikejar? Kan enakan kalo ngurusin hidupnya berdua. Bareng-bareng berjuang di jalannya Allah.”
“Aduh jadi luluh hatiku Sya, hihi. Yah sekarang sih ikutin rencananya Allah ajah deh.”
“Emang kamu nunggu yang kayak gimana?”
“Yang bisa ngasih alasan terbaik kenapa mau jadi imamku. Dulu di Boston ada beberapa yang menyampaikan niat baiknya untuk menikahiku. Tapi ketika aku tanya alasannya, semua jawabannya gak ada yang meyakinkan.”
***
Menikah? Satu kata yang jarang sekali ada di pikiranku sampai sekarang. Selama ini hidupku sudah cukup padat dengan kuliah, mengajar, dan praktek. Jangankan memikirkan masalah menikah, selama ini saja aku selalu merasa tidak punya waktu untuk memikirkan cinta monyet. Untukku semua harus tersusun dengan rapih. Bahkan rencana hidup. Sampai saat ini, menikah belum ada dalam jadwal hidupku. Tapi mungkinkah sudah saatnya aku memasukan ‘langkah besar’ itu dalam agendaku?
Waktu menunjukan sepertiga malam sudah datang. Aku bangkit untuk berwudhu. Dalam kebingungan, cuma ada satu cara yang terbaik, sujud mohon petunjuk pada Sang Raja Alam.
***
“Assalamu’alaikum Sa. Ayah kamu ada?”
“Wa’alaikumsalam. Loh kamu udah pulang Ja? Ayah? Tumben nyariinnya ayah. Ada di ruang baca Ja. Langsung masuk aja.” Aku bingung. Eja tiba-tiba datang setelah lebih dari sebulan aku belum bertemu lagi. Terakhir waktu buka puasa dulu.
Aku menunggu di kamar. Menunggu percakapan mereka selesai. Tapi hampir satu jam mereka belum juga terdengar suaranya. Tanpa sadar aku tertidur.
***
Sayup-sayup terdengar suara orang berbisik-bisik. Aku terbangun, di kananku sudah ada ibu. Di kiriku ada ayah.
“Sayang, kamu belum Isya kan?” Tanya ibu.
Aku menggeleng sambil buru-buru bangkit. Ketika aku sholat, ayah dan ibu tetap tidak beranjak dari tempat tidurku. Setelah selesai ayah memanggilku,
“Sini Princess. Ada yang mau ayah tanya.”
“Ada apa yah?” Tanyaku bingung melihat wajah ayah yang agak sedikit serius.
“What’s your big plan this year sweetheart?”
“Hmm yah mulai praktek yah. Sambil nyelesain buku. Syukur-syukur bisa diterbitkan taun ini.”
“Kalo menikah?”
“Hah? Menikah? Sejauh ini belum kepikir. Lagian kalo pun mau, sama siapa? Hehe emang ayah udah punya calonnya?” Kataku sambil bercanda.
“Udah sayang.” Aku semakin bingung. Ibu tersenyum sambil mengedipkan sebelah matanya.
“Siapa yah? Loh ini ada apa sih? Kok tengah malem tiba-tiba ngagetin.”
“Kalo sama Reza gimana? Tadi dia datang itu yah mau menyampaikan niat baiknya. Lucu juga, ternyata kata-katanya waktu umur 7 tahun untuk mengambil kamu dari Ayah, diutarakan lagi 23 tahun kemudian. Dulu sih cuma ayah godain. Ayah suruh pulang lagi. Ayah bilang dia belum jadi jagoan buat ngelindungin tuan putrinya ayah. Tapi kalo sekarang, mana mungkin ayah suruh pulang dengan tangan kosong. Kamu bisa lihat sendiri dia sudah jadi lelaki dewasa, dokter muda berpotensi, dan yang paling utama dari segala-galanya, ia datang dengan berbekal iman dan niat untuk lebih memuliakanmu dihadapan Illahi. Sekarang tinggal ayah tanya deh sama Salma. Gimana?”
Setelah itu aku benar-benar diam. Semakin bingung dengan apa yang telah terjadi. Eja? Ngelamar?
“Hmm i think i need sometimes to think Yah. Sekarang masih gak bisa jawab apa-apa. Terlalu tiba-tiba.”
“Iyah boleh. Kamu pikirkan dulu baik-baik yah sayang” Setelah mencium keningku, ayah dan ibu pun pergi meninggalkan aku sendiri.
Duniaku seperti sedikit tergoncang. Aku masih sedikit tidak percaya dengan apa yang baru ayah katakan. Kenapa aku? Bukankah Eja harusnya memilih wanita yang jauh lebih shalihah. Lebih banyak pengetahuan islamnya. Lagipula dia pasti tidak banyak tahu aku yang sekarang. Memang dia teman kecilku. Tapi itu sudah lebih dari 10 tahun yang lalu. Sudah banyak yang berubah, baik di duniaku maupun di dunianya.
Sejuta pertimbangan langsung menyerang bertubi-tubi. Dititik ini aku baru saja akan memulai perjalanan karirku. Jika aku putuskan menikah, berarti agenda hidupku harus di rombak ulang. Tapi, sebegitu sombongnyakah diri ini ingin mengambil alih dalam mengatur takdir Illahi Rabbi? Astaghfirullah. Kemana harus kulangkahkan kaki ini?
Eja? Kenapa tiba-tiba? Setelah aku sempat menyangka bahwa namaku sudah tidak tertulis lagi dalam daftar hidupnya. Setelah aku mengira ia tak perduli lagi untuk mengikuti perkembangan hidupku. Bukankah bahkan selama sepuluh tahun aku di Bosto, sangat jarang ia menghubungiku? Bahkan sebulan aku di Jakarta, hanya dua kali aku bertemu muka, keduanya tidak lebih dari 15 menit. Aku sedikit ragu. Apa alasannya dibalik niat mulia ini? Apa alasannya?
Tiba-tiba handphone ku bergetar. Ada sms masuk.
Istikharah yah Sa. –Eja-
Air mataku segera menetes, tak mampu terbendung lagi.
***
Dua minggu sesudahnya aku lebih banyak berkomunikasi dengan Eja. Hanya melalui e-mail karena Eja sedang berada di semarang. Ia banyak menanyakan rencanaku kedepan, begitupun sebaliknya.
Kenapa kamu ingin menikahi aku, Ja? Kan kamu sama sekali belum tahu aku yang sekarang. Sepuluh tahun waktu yang cukup lama loh Ja untuk merubah pribadi seseorang.
Siapa bilang aku gak tahu kamu yang sekarang? 10 tahun, aku selalu mengikuti perkembangan hidup kamu. Melalui Bunda. Melalui Ibu kamu. Aku tahu ada 5 jaitan di tangan kamu karena kecelakan mobil 8 taun yang lalu. Kamu lulus dengan 3.85 GPA. Dosen pembimbing desertation kamu sudah menerbitkan berpuluh-puluh buku tentang psikologi anak. Dan ‘menikah’ belum ada di agenda hidup kamu.
Aku mengenalkan Aisya pada kamu bukan tanpa alasan. Aku minta pada Aisya untuk mengutarakan pendapatnya tentang aku, supaya kamu lebih tau tentang aku yang sekarang. Memang dia juga tidak terlalu mengenal aku. Tapi rasanya ia pasti punya sedikit gambaran mengingat kita sudah satu sekolah untuk waktu yang cukup lama. Biar kamu bisa melihat aku dari pandangan orang lain. Supaya lebih objective.

Aku ingin calon istri yang mencintai Allah lebih dari apapun juga. Karena itu aku ingin kamu berkesempatan untuk mengenal Allah lebih jauh, dibantu oleh Aisya. Kalau saja usahaku gagal, niat untuk menikahi kamu pun akan aku berhentikan. Tapi ternyata Allah menempatkan hidayah itu di hati kamu Sa.
Dari ibu dan Aisya, aku dengar Salma yang sekarang selalu menunaikan sholat 5 waktu. Salma yang setiap malam terbangun untuk melaksanakan Tahajud. Salma yang sudah menjaga auratnya dari yang bukan muhrimnya. Salma yang menangis tersedu-sedu ketika mendengar surat Ar-Rahman dibacakan.
Aku ingin menikahimu karena Allah.
Pipiku terasa basah. Dari bibirku terucap ‘Bismillah’. Ya Allah beri hamba kekuatan untuk melangkah.
***
Sekarang aku percaya ‘sahabat sejati’ itu ada. Aisya benar, merancang hidup dan beribadah terasa lebih bermakna saat ada seseorang yang mendampingi.
Kadang aku bertanya, “Ja kenapa kamu mencintaiku?”.
Jawaban dari bibirnya pun selalu sama,
uhibbukum filLaahi (aku cinta kepadamu karena Allah)