Awal musim gugur, 2012
Dear Boston,
Besok aku pulang. Setelah 10 tahun berada jauh dari rumah, akhirnya
saatnya untuk kembali lagi. Tentu saja aku senang, bisa kumpul lagi sama Ayah
dan Ibu. Tapi juga sedikit takut. Semuanya akan berubah dalam seketika.
Di sini aku hidup sendiri. Semua aku yang mengatur. Mulai dari masalah
makan, jam pulang malam, sampai keputusan-keputusan penting tentang sekolah dan
hidupku. Namun sebentar lagi, aku akan kembali dalam pengawasan Ayah dan Ibu.
Tapi toh itu bukan masalah, aku juga sudah sangat rindu di manja-manja lagi,
jadi a little princess lagi di rumah.
Gak sabar rasanya ingin ketemu temen-temen main dulu. Pasti mereka
sudah banyak berubah. Bahkan Mila, Tasya, dan Riri sudah menikah dan punya
anak. Sisanya pada kemana yah? Eja? Apa kabar sahabatku yang satu itu? Setelah
masuk kedokteran, sudah gak pernah ada kabarnya lagi. Paling cuma denger cerita
dari Ibu yang masih sering ngobrol sama Bunda Rima, bundanya Eja.
Aku pulang karena ingin menepati janjiku dengan Ayah. Dulu sebelum
berangkat ke Amerika, Ayah sempat bilang kalau aku adalah investasinya Ayah
untuk Indonesia. Jadi kalau sudah jadi Psikolog, harus pulang lagi, supaya bisa
ikut membangun bangsa. Aku merasa pengalamanku sudah cukup, sudah saatnya aku
kembali, membagi sedikit ilmu yang sudah aku dapat dari sini.
Good Night Boston. I will miss your pretty blue sky.
***
Soekarno-Hatta,
Jakarta.
Aku berlari-lari
kecil ingin segera menghampiri dua sosok yang paling berarti dalam hidupku.
Ayah melambai sambil tersenyum. Mata Ibu sudah basah oleh air mata bahagia.
Setelah mencium tangan keduanya, aku segera menghambur kedalam pelukan mereka.
Untuk sesaat kami hanyut dalam haru.
“Alhamdulillah,
akhirnya anak ibu sampai juga. Gimana pesawatnya sayang? Lancar semuanya?”
Tanya ibu sambil mengelus wajahku.
“Lancar kok Bu,
tidur terus malah sepanjang perjalanan. Ibu kok tambah kurus aja sih? Salma
jadi keliatan dua kalinya ibu.” Ibu mencubitku manja
“Capek yah tuan
putri? Langsung ke mobil aja yuk. Oh iya malem ini kebetulan ada acara buka
puasa bersama di rumah. Kita ngundang temen-temen ayah dan ibu. Sekalian kan
mau ngenalin anak kesayangan ayah yang baru dateng. Mereka pasti kaget ngeliat
Salma udah dewasa gini.” Kata ayah.
“Wah, Bunda Rima
dateng juga gak Yah?”
“Dateng dong. Si
ibu juga udah minta Reza supaya di ajak tuh. Pasti kamu udah kangen juga kan?
Dia udah jadi dokter spesialis ginjal juga loh. Kadang suka gantiin ayah
nanganin pasien, kalo ayah harus keluar kota.”
Senangnya bisa
ketemu Eja dan Bunda Rima secepat ini. Apa kabar yah mereka?
***
Mungkin karena 23
jam perjalanan, sampai di rumah aku langsung ketiduran. Dua jam kemudian
dibangunkan bunda karena hampir tiba waktu berbuka. Waktu aku mengintip dari
pintu kamar, rumah kami sudah penuh berisi tamu-tamu. Cepat-cepat aku mandi dan
bersiap-siap untuk menyambut mereka.
Baru saja hendak
melangkah keluar kamar, tiba-tiba aku mendengar suara Adzan. Tapi suaranya
begitu dekat. Bukan seperti dari tv. Aku segera keluar dari kamar. Ruang tamu
sudah penuh berisi tamu-tamu yang sudah siap melaksanakan sholat Maghrib
berjama’ah. Ternyata waktu berbuka sudah datang dari tadi. Di barisan depan,
seorang laki-laki berdiri, sambil dengan indahnya mengumandangkan Adzan.
Jantungku tiba-tiba berdetak lebih kencang. Pertama karena sudah lama sekali
aku tidak mendengar suara menakjubkan panggilan sholat ini. Kedua, sosok itu
sangat aku kenal. Meski dulu tidak setinggi dan segagah itu, tapi aku yakin,
itu adalah Eja, teman kecilku dulu.
Selesai sholat,
aku segera mencari-cari Eja. Ternyata ia sedang asyik ngobrol sama ayah, ibu,
dan bunda Rima. Aku sedikit berlari-lari kecil, tak sabar ingin menyapanya.
“Ejaa.. Bunda
Rima.. Waahh kangennya.” Aku segera memeluk Bunda Rima.
“Subhanallah
Salma, kamu udah gede begini. Meni geulis pisan. Aduh Bunda itu udah kangen
banget sama kamu. Tanya deh sama Ibu, tiap kali kerumah pasti nanyainnya kabar
kamu terus. Apa kabarnya sayang?” Tanya wanita yang sangat ramah itu.
“Alhamdulillah
baik Bunda. Salma juga kangen banget ngobrol-ngobrol banyak lagi sama Bunda
Rima.” Jawabku.
“Iyah nanti kita
jalan-jalan bareng deh yah, kalo kamu udah ilang capeknya.” Aku mengangguk. Eja
hanya tersenyum melihat kami berdua.
“Hey Pak Dokter.
Apa kabar kamu?” Tanyaku pada Eja. Aku tidak menjabat tangannya, karena aku
sadar, ia sengaja memasukan kedua tangannya kedalam saku celananya. Suara adzan
yang dikumandangkannya, peci di atas kepalanya, dan matanya yang berusaha tidak
menatap wajahku, aku rasa sudah cukup menjadi isyarat tentang perubahan
hidupnya selama 10 tahun terakhir ini.
“Alhamdulillah baik
Sa. Congratulation yah, denger-denger udah jadi psikolog anak sukses
juga.”
“Wah masih jauh
kali Ja dari sukses. Baru juga mau mulai.” Jawabku.
Tiba-tiba
handphone Eja bunyi, memutuskan pembicaraan kami. Ternyata ada sms masuk. Eja
minta izin untuk menghubungi temannya sebentar. Akhirnya aku ngobrol lagi
dengan Ibu dan Bunda Rima, sambil menunggu Eja selesai bicara dengan temannya.
Tak lama ia menghampiri kami.
“Bunda, Ibu, Ayah,
maaf banget, tapi Eja harus pamit sekarang. Tadi memang rencananya cuma mau
mengantar Bunda sebentar, sekalian ketemu Salma. Kebetulan sudah ada janji sama
beberapa teman untuk menghadiri pengajian di Masjid Al-Azhar. Insya Allah nanti
Reza main-main lagi ke sini.” Setelah pamit, Eja pun pergi meninggalkan acara.
Akhirnya tamu-tamu
satu demi satu pulang. Malam yang cukup melelahkan. Setelah ngobrol sebentar
dengan Ayah Ibu, aku segera masuk ke kamar. Sebelum tidur, aku memikirkan
pertemuan tadi dengan Bunda Rima dan Eja. Mengagumkan, 10 tahun bisa membuat
seseorang berubah sedemikian rupa. Eja yang dulu selalu banyak bicara, sekarang
lebih banyak diam. Yang tadinya sangat memikirkan penampilan luar, sekarang
sungguh luar biasa sederhananya. Sebuah perubahan yang menakjubkan.
Aku tentu saja
senang melihat keadaan sahabat kecilku itu. Seorang dokter muda yang cerdas.
Anak yang sangat menyayangi dan menjaga bundanya, terutama setelah sang ayah
meninggal. Dan, dari cerita ibu tadi, Eja semakin tekun mempelajari agama.
Sebagai temannya, tentu aku juga ikut merasa bangga.
Tapi ada satu hal
yang mengganjal di hatiku. Eja seperti jadi orang asing. Tidak seperti dulu,
sekarang ia sangat menjaga jarak dalam berbicara padaku. Padahal aku kangen
mendengar cerita-cerita tentang hidupnya. Aku kangen berdiskusi tentang
berbagai hal lagi. Selama aku di Boston, aku selalu semangat mengikuti
perkembangan Eja dari cerita Ibu. Tapi mungkin itu hanya perasaanku. Mungkin
tadi karena baru bertemu sebentar saja.
Bersambung yah...
soalnya panjang.. kasian bacanya nanti
Jakarta, November
2006
Mengecewakan.
Jakarta sepi. Bosan. Semua orang sibuk mengurusi hidup masing-masing. Kemarin
ketemu Mila dan Tasya. Tapi mereka sudah sangat berubah. Atau aku yang berubah?
Yang jelas pembicaraan kami sudah beda. Mereka sibuk mendiskusikan masalah anak
sakit, pembantu yang gak betah, suami yang pulang malam. Aku sendiri belum
masuk ke dunia itu. Jadi bingung juga gimana nanggepinnya.
Yah memang pada
akhirnya kita gak bisa mengharap bahagia dari orang lain. Sebentar lagi juga
aku akan sibuk ngurusin dunia kerjaku yang baru. Jadi ragu, apa memang benar
ada yang namanya ‘teman sejati’?
Aku meraih
handphone ku.
Ja, apa kabar?
Bosen nih, gak ada hiburan. Ja pengajian kamu di mana sih? Aku pengen belajar
juga dong. Udah tambah tua nih, masih juga sibuk ngurusin dunia. Malu, kalah
sama kamu.
Sent.
Seminggu ini aku
semakin banyak dengar cerita tentang Eja dari Ibu. Ternyata, meninggalnya Ayah
Yudi memang jadi titik awal buat Eja, memulai perjalanan spiritualnya. Seminggu
ini aku pun sibuk membandingkan jalan hidupku dan Eja. Apa yang sudah aku dapat
selama 10 tahun ini? Hanya sibuk mengejar impian-impianku sendiri. Tapi
bagaimana hubunganku dengan Tuhan, yang sudah menganugrahkan semua nikmat ini?
Lucunya, kenapa tiba-tiba aku jadi sibuk memikirkan Tuhan dan agama?
Handphone ku
bergetar. Pasti balasan dari Eja.
Assalamu’alaikum
Sa. Sorry aku lagi di Semarang. Baru balik sebulan lagi. Kamu bosen yah? Ya
udah gimana kalo aku kenalin sama temenku. Namanya Aisya. Mungkin dia bisa
ngajak kamu ke pengajiannya kapan-kapan. Sekalian ngisi waktu sebelum mulai
praktek kan. Ini no nya...
***
Siang itu Jakarta
panas bukan main. Sudah 20 menit aku duduk di restaurant itu sambil menikmati
segelas lemon tea. Aku sedang menunggu Aisya. Seperti bukan aku yang biasanya,
mau asal kenal sama orang asing, tanpa ada Eja yang lebih mengenal perempuan
ini. Tapi mungkin karena aku sudah terlalu bosan, tidak ada teman ngobrol
selama di Jakarta. Lagi pula kurang tepat juga kalo disebut ‘orang asing’. Dia
kan temannya Eja. Dan Eja sahabatku.
“Assalamu’alaikum,
Salma yah? Ya ampun maaf yah jadi bikin nunggu lama. Tadi sholat Dzuhur dulu di
Musholah bawah. Oh ini yang suka Eja ceritain. Aduh cantiknya.” Tiba-tiba
seorang perempuan berjilbab panjang sudah berdiri didepanku, dan menyapa dengan
cerianya.
“Wa’alaikumsalam.
Aisya yah? It’s okay, aku juga baru dateng kok.” Aku segera menjabat tangannya.
Cantik dan sangat
ramah. Itu kesan pertama yang aku dapat. Pakaian muslimahnya semakin jelas
menunjukan keanggunan perempuan ini. Aku lega, Eja sudah mengatur supaya aku
bisa bertemu dengan Aisya.
“Gimana
kesan-kesannya balik ke Jakarta lagi? Pasti pusing yah, ngadepin jalanan macet,
polusi, sampe berita-berita politik dan ekonomi yang gak ada abisnya?” Aisya
memulai percakapan.
“Hmm iyah agak
sedikit harus adaptasi lagi. Tapi seneng kok, gimana juga Jakarta tetep
rumahku. Aisya sekarang sibuk apa?”
“Aku baru mulai
praktek di salah satu rumah sakit bersalin. Jadi baru adaptasi juga. Kata Eja,
kamu juga akan mulai praktek di pusat penanganan anak autis yah? Wah
menariknya.” Aku tersenyum.
“Sepertinya Eja
udah cerita banyak yah tentang aku. Padahal aku juga belum sempet ngobrol
banyak sama Eja lagi loh. Dia pasti tau berita-beritaku dari Bunda Rima atau
ibuku.”
“Iyah dia sedikit
cerita tentang kamu melalui email kemarin. Ternyata kalian tuh teman dari kecil
yah. Sampe orang tuanya ajah udah saling kenal. Pasti seneng dong akhirnya
ketemu lagi.”
“Justru kita kenal
karena dulu Ayahku sama Ayahnya Eja praktek di rumah sakit yang sama. Seneng
pastinya bisa ketemu lagi. Tapi baru ketemu sekali kok waktu buka puasa
kemarin. Itu pun gak lama. Eja kayaknya langsung sibuk banget yah. Susah sih
udah jadi Pak Dokter. Kamu kenal Eja di mana Sya?”
“Kita dulu
sama-sama di Rohis waktu SMA. Terus kebetulan sama-sama masuk kedokteran juga.
Denger-denger kamu tertarik ikut pengajian di rumahku?”
“Iyah, udah lama
gak belajar agama. Semenjak di Boston, malah cuma sibuk ngurus kuliah.”
Aisya benar-benar
teman yang menyenangkan buat diajak bicara. Sudah jelas, selain anggun, ia juga
sangat cerdas. Pengetahuannya luas. Jarang ada seorang perempuan yang sangat
mengikuti perkembangan dunia seperti Aisya. Selain itu pengetahuannya tentang
Islam pun sangat dalam. Ia menjawab setiap pertanyaanku dengan jelas tapi tidak
menggurui. Pelan-pelan tapi pasti aku semakin tertarik untuk mengikuti
langkahnya, membina hubungan yang penuh makna dengan Allah Sang Pencipta.
Lucunya, dia
selalu semangat membicarakan Eja. Sibuk bercerita tentang Eja sebagai seorang
dokter, ketua Rohis, atau ketua senat. Intinya ia banyak menceritakan Eja yang
belum pernah aku kenal. Aku kagum sendiri. Tapi juga agak sedih, karena
sepertinya dunia aku dan Eja sudah benar-benar berbeda.
Aisya kadang
bertanya pendapatku tentang Eja. Kenapa yah? Sepertinya dia semangat sekali.
Mungkin perempuan anggun ini menaruh hati pada sahabat kecilku itu. Dan mungkin
juga sebaliknya. Kalo dilihat kasat mata, memang mereka sangat serasi. Keduanya
sama-sama dokter muda yang penuh potensi. Dalam masalah iman, mereka seperti
sudah melangkah di jalan yang sama. Aisya juga perempuan yang sangat lembut dan
baik hati. Aku ikut senang jika ternyata perasaanku benar.
Tapi benarkah aku
ikut bahagia?
***
Sebulan ini aku
banyak menghabiskan waktu dengan Aisya. Aku mulai rajin datang ke pengajian
mingguannya. Bertemu dengan teman-teman Aisya yang lain. Perempuan-perempuan
yang sangat istimewa. Kebanyakan dari mereka adalah teman kampus Aisya. Jadi
rata-rata adalah dokter-dokter muda. Semuanya wanita yang cerdas dan mandiri.
Tapi baru kali ini aku bertemu dengan wanita-wanita intelektual yang tujuannya
satu, meraih Ridho Illahi. Sungguh, baru kali ini aku masuki dunia yang penuh
dengan damai dan indahnya nuansa islami. Sepertinya aku jatuh cinta pada
lingkungan ini.
Selangkah-demi
selangkah aku coba menjelajahi Islam lebih jauh. Memperbaiki hubunganku dengan
Sang Penggenggam Hati. Sunggu baru aku temukan berbagai keindahan agama yang
sudah sejak lahir aku anut ini. Aisya dan teman-temannya selalu siap membantuku
dalam belajar. Mereka menuntunku untuk lebih jauh mengenal Allah, Rasulullah
dan Sunahnya.
Cintaku pada
Rasulullah mulai merekah. Aku coba selami lebih jauh hidupnya. Air mata kagum
dan haru menemani malamku saat menyusuri Sirah Nabawiyah. Aku kagum akan
kesetiaan Siti Khadijah. Terpesona dengan kecerdasan Aisyah R.A. Menangis pilu
membayangkan sabar dan teguhnya Khalid, Umar, dan Ali yang berjuang menegakkan
Islam. Ikut bergetar membayangkan Adzan yang terlantun dari bibir Bilal. Ada
sedikit sesal, mengapa baru sekarang aku mengenal mereka. Setelah hampir
kulewati setengah hidup ini.
3:15 am, Sepertiga
Malam Hari
Dalam sunyi hamba
datang menghadapMu Illahi. Disaksikan gelapnya malam dan bintang-bintang. Aku
bersujud memohon ampunan. Jangan lagi Kau tutup mata hati ini. Ya Rahman, Aku
rindu padaMu.
Sesungguhnya kamu tidak
akan dapat memberi petunjuk kepada orang yang kamu kasihi, tetapi Allah memberi
petunjuk kepada orang yang dikehendaki-Nya, dan Allah lebih mengetahui
orang-orang yang mau menerima petunjuk. (QS. 28:56)
Sejenak kutatap
baju muslimah baru lengkap dengan jilbab putih yang sudah tergantung di pintu
lemariku. Aku tersenyum. Tidak sabar menunggu untuk mengenakannya dan memulai
langkahku yang baru.
***
“Salma, aku punya
berita baik.” Kata Aisya di telpon siang itu.
“Wah ada apa nih
Sya?” Tanyaku penasaran.
“Insya Allah dua
minggu lagi aku sudah menjadi istri seseorang.”
“Alhamdulillah.
Kok baru bilang sekarang? Siapa calonnya itu Sya?” Aku agak sedikit kaget.
“Memang belum lama
juga kok Ma keputusannya. Nanti aku kasih tau lengkapnya yah. Sekarang masih
harus menerima pasien. Assalamu’alaikum.”
“Wa’alaikumsalam”
Aku terdiam dalam
tanya. Siapakah lelaki beruntung itu? Hanya ada satu nama yang muncul, Eja.
Ternyata tebakkanku dulu tidak salah. Aku akan senang sekali jika ternyata
pikiranku benar.
Tapi, benarkah aku ikut bahagia?
Bapak2 ibu2... bersambung lagi yah...
Bapak2 ibu2... bersambung lagi yah...
Bagian awalnya ada
di postingan sebelumnya...
Lagi-lagi, siang
itu Jakarta panas bukan main. Aku duduk menunggu Aisya dalam banyak tanya.
Entah kenapa aku begitu yakin bahwa lelaki itu adalah Eja. Tanda-tandanya sudah
jelas, Aisya sering sekali membicarakan kehidupan Eja padaku. Tapi apa artinya
rasa gelisah di hati ini? Kenapa aku merasa sedih? Padahal Eja adalah teman
kecilku dan Aisya sudah menjadi sahabatku. Mereka adalah pasangan yang sangat serasi
dimataku. Tapi kenapa aku merasa tidak setuju? Mungkinkah aku cemburu?
“Assalamu’alaikum
Salma. Maaf nunggu lama yah, tadi pasien terakhir telat datengnya.”
“Wa’alaikumsalam
Sya. Ngga kok. Aduh calon pengantin, ngagetin ajah beritanya. Who’s the lucky
guy Sya?” Tanyaku penasaran.
“Sabar dulu dong
Salma sayang. Belum juga duduk, hehe. Belum juga sempet muji, kamu kelihatan
kayak bidadari surga dengan jilbab itu.”
“Alhamdulillah,
makasih Sya. Ayo sekarang cerita semuanya.” Aku semakin tidak sabar.
“Namanya Muhammad
Iqbal.” Ya Allah, dugaanku salah. Seperti ada tetes-tetes embun pagi yang
menyejukan hati.
“Kenal dimana
Sya?”
“Dia sahabatnya
Reza. Tadinya, aku sendiri cuma kenal dari cerita-cerita orang. Seperti juga
aku tau tentang kehidupan Reza. Tapi sebulan yang lalu, kakak perempuannya,
yang juga senior ku di kampus dulu, menghubungiku. Akhirnya kami memutuskan
untuk menjalani proses Ta’aruf. Selanjutnya yah orangtuanya datang kerumah
untuk melamar.”
“Wah i’m so happy
for you sis. Jadi kamu sebenernya gak kenal deket sama Eja?”
“Ngga lah. Cuma
tau gitu-gitu ajah. Dan denger cerita-cerita dari orang. Sampe waktu itu dia
menghubungiku supaya berkenalan dengan kamu. Dia juga tau aku dari Iqbal.” Aku
sempat diam tak bisa berkata apa-apa.
“Jadi gimana nih?
Ibu psikolog kira-kira kapan?”
“Kapan apanya?”
Tanyaku sambil tersenyum.
“Yah kapan mau
ngelepasin ‘single status’nya?”
“Wah kapan yah?
Belom kepikiran Sya. Ngurus hidup sendiri ajah baru mulai. Masih banyak yang
mau di urus dulu.” Jawabku seadanya.
“Hmm yah harus
mulai di pikir dikit-dikit lah Salma sayang. Lagian apa lagi sih yang mau
dikejar? Kan enakan kalo ngurusin hidupnya berdua. Bareng-bareng berjuang di
jalannya Allah.”
“Aduh jadi luluh
hatiku Sya, hihi. Yah sekarang sih ikutin rencananya Allah ajah deh.”
“Emang kamu nunggu
yang kayak gimana?”
“Yang bisa ngasih
alasan terbaik kenapa mau jadi imamku. Dulu di Boston ada beberapa yang
menyampaikan niat baiknya untuk menikahiku. Tapi ketika aku tanya alasannya,
semua jawabannya gak ada yang meyakinkan.”
***
Menikah? Satu kata
yang jarang sekali ada di pikiranku sampai sekarang. Selama ini hidupku sudah
cukup padat dengan kuliah, mengajar, dan praktek. Jangankan memikirkan masalah
menikah, selama ini saja aku selalu merasa tidak punya waktu untuk memikirkan
cinta monyet. Untukku semua harus tersusun dengan rapih. Bahkan rencana hidup.
Sampai saat ini, menikah belum ada dalam jadwal hidupku. Tapi mungkinkah sudah
saatnya aku memasukan ‘langkah besar’ itu dalam agendaku?
Waktu menunjukan
sepertiga malam sudah datang. Aku bangkit untuk berwudhu. Dalam kebingungan,
cuma ada satu cara yang terbaik, sujud mohon petunjuk pada Sang Raja Alam.
***
“Assalamu’alaikum
Sa. Ayah kamu ada?”
“Wa’alaikumsalam.
Loh kamu udah pulang Ja? Ayah? Tumben nyariinnya ayah. Ada di ruang baca Ja.
Langsung masuk aja.” Aku bingung. Eja tiba-tiba datang setelah lebih dari
sebulan aku belum bertemu lagi. Terakhir waktu buka puasa dulu.
Aku menunggu di
kamar. Menunggu percakapan mereka selesai. Tapi hampir satu jam mereka belum
juga terdengar suaranya. Tanpa sadar aku tertidur.
***
Sayup-sayup
terdengar suara orang berbisik-bisik. Aku terbangun, di kananku sudah ada ibu.
Di kiriku ada ayah.
“Sayang, kamu
belum Isya kan?” Tanya ibu.
Aku menggeleng
sambil buru-buru bangkit. Ketika aku sholat, ayah dan ibu tetap tidak beranjak
dari tempat tidurku. Setelah selesai ayah memanggilku,
“Sini Princess.
Ada yang mau ayah tanya.”
“Ada apa yah?”
Tanyaku bingung melihat wajah ayah yang agak sedikit serius.
“What’s your big
plan this year sweetheart?”
“Hmm yah mulai
praktek yah. Sambil nyelesain buku. Syukur-syukur bisa diterbitkan taun ini.”
“Kalo menikah?”
“Hah? Menikah?
Sejauh ini belum kepikir. Lagian kalo pun mau, sama siapa? Hehe emang ayah udah
punya calonnya?” Kataku sambil bercanda.
“Udah sayang.” Aku
semakin bingung. Ibu tersenyum sambil mengedipkan sebelah matanya.
“Siapa yah? Loh
ini ada apa sih? Kok tengah malem tiba-tiba ngagetin.”
“Kalo sama Reza
gimana? Tadi dia datang itu yah mau menyampaikan niat baiknya. Lucu juga,
ternyata kata-katanya waktu umur 7 tahun untuk mengambil kamu dari Ayah,
diutarakan lagi 23 tahun kemudian. Dulu sih cuma ayah godain. Ayah suruh pulang
lagi. Ayah bilang dia belum jadi jagoan buat ngelindungin tuan putrinya ayah.
Tapi kalo sekarang, mana mungkin ayah suruh pulang dengan tangan kosong. Kamu
bisa lihat sendiri dia sudah jadi lelaki dewasa, dokter muda berpotensi, dan
yang paling utama dari segala-galanya, ia datang dengan berbekal iman dan niat
untuk lebih memuliakanmu dihadapan Illahi. Sekarang tinggal ayah tanya deh sama
Salma. Gimana?”
Setelah itu aku
benar-benar diam. Semakin bingung dengan apa yang telah terjadi. Eja? Ngelamar?
“Hmm i think i
need sometimes to think Yah. Sekarang masih gak bisa jawab apa-apa. Terlalu
tiba-tiba.”
“Iyah boleh. Kamu
pikirkan dulu baik-baik yah sayang” Setelah mencium keningku, ayah dan ibu pun
pergi meninggalkan aku sendiri.
Duniaku seperti
sedikit tergoncang. Aku masih sedikit tidak percaya dengan apa yang baru ayah
katakan. Kenapa aku? Bukankah Eja harusnya memilih wanita yang jauh lebih
shalihah. Lebih banyak pengetahuan islamnya. Lagipula dia pasti tidak banyak
tahu aku yang sekarang. Memang dia teman kecilku. Tapi itu sudah lebih dari 10
tahun yang lalu. Sudah banyak yang berubah, baik di duniaku maupun di dunianya.
Sejuta
pertimbangan langsung menyerang bertubi-tubi. Dititik ini aku baru saja akan
memulai perjalanan karirku. Jika aku putuskan menikah, berarti agenda hidupku
harus di rombak ulang. Tapi, sebegitu sombongnyakah diri ini ingin mengambil
alih dalam mengatur takdir Illahi Rabbi? Astaghfirullah. Kemana harus
kulangkahkan kaki ini?
Eja? Kenapa
tiba-tiba? Setelah aku sempat menyangka bahwa namaku sudah tidak tertulis lagi
dalam daftar hidupnya. Setelah aku mengira ia tak perduli lagi untuk mengikuti
perkembangan hidupku. Bukankah bahkan selama sepuluh tahun aku di Bosto, sangat
jarang ia menghubungiku? Bahkan sebulan aku di Jakarta, hanya dua kali aku
bertemu muka, keduanya tidak lebih dari 15 menit. Aku sedikit ragu. Apa
alasannya dibalik niat mulia ini? Apa alasannya?
Tiba-tiba
handphone ku bergetar. Ada sms masuk.
Istikharah yah Sa.
–Eja-
Air mataku segera
menetes, tak mampu terbendung lagi.
***
Dua minggu
sesudahnya aku lebih banyak berkomunikasi dengan Eja. Hanya melalui e-mail
karena Eja sedang berada di semarang. Ia banyak menanyakan rencanaku kedepan,
begitupun sebaliknya.
Kenapa kamu ingin
menikahi aku, Ja? Kan kamu sama sekali belum tahu aku yang sekarang. Sepuluh
tahun waktu yang cukup lama loh Ja untuk merubah pribadi seseorang.
Siapa bilang aku
gak tahu kamu yang sekarang? 10 tahun, aku selalu mengikuti perkembangan hidup
kamu. Melalui Bunda. Melalui Ibu kamu. Aku tahu ada 5 jaitan di tangan kamu
karena kecelakan mobil 8 taun yang lalu. Kamu lulus dengan 3.85 GPA. Dosen
pembimbing desertation kamu sudah menerbitkan berpuluh-puluh buku tentang
psikologi anak. Dan ‘menikah’ belum ada di agenda hidup kamu.
Aku mengenalkan
Aisya pada kamu bukan tanpa alasan. Aku minta pada Aisya untuk mengutarakan
pendapatnya tentang aku, supaya kamu lebih tau tentang aku yang sekarang.
Memang dia juga tidak terlalu mengenal aku. Tapi rasanya ia pasti punya sedikit
gambaran mengingat kita sudah satu sekolah untuk waktu yang cukup lama. Biar
kamu bisa melihat aku dari pandangan orang lain. Supaya lebih objective.
Aku ingin calon istri yang mencintai Allah lebih dari apapun juga. Karena itu aku ingin kamu berkesempatan untuk mengenal Allah lebih jauh, dibantu oleh Aisya. Kalau saja usahaku gagal, niat untuk menikahi kamu pun akan aku berhentikan. Tapi ternyata Allah menempatkan hidayah itu di hati kamu Sa.
Aku ingin calon istri yang mencintai Allah lebih dari apapun juga. Karena itu aku ingin kamu berkesempatan untuk mengenal Allah lebih jauh, dibantu oleh Aisya. Kalau saja usahaku gagal, niat untuk menikahi kamu pun akan aku berhentikan. Tapi ternyata Allah menempatkan hidayah itu di hati kamu Sa.
Dari ibu dan
Aisya, aku dengar Salma yang sekarang selalu menunaikan sholat 5 waktu. Salma
yang setiap malam terbangun untuk melaksanakan Tahajud. Salma yang sudah
menjaga auratnya dari yang bukan muhrimnya. Salma yang menangis tersedu-sedu
ketika mendengar surat Ar-Rahman dibacakan.
Aku ingin
menikahimu karena Allah.
Pipiku terasa
basah. Dari bibirku terucap ‘Bismillah’. Ya Allah beri hamba kekuatan untuk
melangkah.
***
Sekarang aku
percaya ‘sahabat sejati’ itu ada. Aisya benar, merancang hidup dan beribadah
terasa lebih bermakna saat ada seseorang yang mendampingi.
Kadang aku bertanya,
“Ja kenapa kamu mencintaiku?”.
Jawaban dari
bibirnya pun selalu sama,
uhibbukum filLaahi
(aku cinta kepadamu karena Allah)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar