Selasa, 16 Oktober 2012

Karena Sang Maha Pencinta

Awal musim gugur, 20
12

Dear Boston,

Besok aku pulang. Setelah 10 tahun berada jauh dari rumah, akhirnya saatnya untuk kembali lagi. Tentu saja aku senang, bisa kumpul lagi sama Ayah dan Ibu. Tapi juga sedikit takut. Semuanya akan berubah dalam seketika.
Di sini aku hidup sendiri. Semua aku yang mengatur. Mulai dari masalah makan, jam pulang malam, sampai keputusan-keputusan penting tentang sekolah dan hidupku. Namun sebentar lagi, aku akan kembali dalam pengawasan Ayah dan Ibu. Tapi toh itu bukan masalah, aku juga sudah sangat rindu di manja-manja lagi, jadi a little princess lagi di rumah.
Gak sabar rasanya ingin ketemu temen-temen main dulu. Pasti mereka sudah banyak berubah. Bahkan Mila, Tasya, dan Riri sudah menikah dan punya anak. Sisanya pada kemana yah? Eja? Apa kabar sahabatku yang satu itu? Setelah masuk kedokteran, sudah gak pernah ada kabarnya lagi. Paling cuma denger cerita dari Ibu yang masih sering ngobrol sama Bunda Rima, bundanya Eja.
Aku pulang karena ingin menepati janjiku dengan Ayah. Dulu sebelum berangkat ke Amerika, Ayah sempat bilang kalau aku adalah investasinya Ayah untuk Indonesia. Jadi kalau sudah jadi Psikolog, harus pulang lagi, supaya bisa ikut membangun bangsa. Aku merasa pengalamanku sudah cukup, sudah saatnya aku kembali, membagi sedikit ilmu yang sudah aku dapat dari sini.
Good Night Boston. I will miss your pretty blue sky.
***
Soekarno-Hatta, Jakarta.
Aku berlari-lari kecil ingin segera menghampiri dua sosok yang paling berarti dalam hidupku. Ayah melambai sambil tersenyum. Mata Ibu sudah basah oleh air mata bahagia. Setelah mencium tangan keduanya, aku segera menghambur kedalam pelukan mereka. Untuk sesaat kami hanyut dalam haru.
“Alhamdulillah, akhirnya anak ibu sampai juga. Gimana pesawatnya sayang? Lancar semuanya?” Tanya ibu sambil mengelus wajahku.
“Lancar kok Bu, tidur terus malah sepanjang perjalanan. Ibu kok tambah kurus aja sih? Salma jadi keliatan dua kalinya ibu.” Ibu mencubitku manja
“Capek yah tuan putri? Langsung ke mobil aja yuk. Oh iya malem ini kebetulan ada acara buka puasa bersama di rumah. Kita ngundang temen-temen ayah dan ibu. Sekalian kan mau ngenalin anak kesayangan ayah yang baru dateng. Mereka pasti kaget ngeliat Salma udah dewasa gini.” Kata ayah.
“Wah, Bunda Rima dateng juga gak Yah?”
“Dateng dong. Si ibu juga udah minta Reza supaya di ajak tuh. Pasti kamu udah kangen juga kan? Dia udah jadi dokter spesialis ginjal juga loh. Kadang suka gantiin ayah nanganin pasien, kalo ayah harus keluar kota.”
Senangnya bisa ketemu Eja dan Bunda Rima secepat ini. Apa kabar yah mereka?
***
Mungkin karena 23 jam perjalanan, sampai di rumah aku langsung ketiduran. Dua jam kemudian dibangunkan bunda karena hampir tiba waktu berbuka. Waktu aku mengintip dari pintu kamar, rumah kami sudah penuh berisi tamu-tamu. Cepat-cepat aku mandi dan bersiap-siap untuk menyambut mereka.
Baru saja hendak melangkah keluar kamar, tiba-tiba aku mendengar suara Adzan. Tapi suaranya begitu dekat. Bukan seperti dari tv. Aku segera keluar dari kamar. Ruang tamu sudah penuh berisi tamu-tamu yang sudah siap melaksanakan sholat Maghrib berjama’ah. Ternyata waktu berbuka sudah datang dari tadi. Di barisan depan, seorang laki-laki berdiri, sambil dengan indahnya mengumandangkan Adzan. Jantungku tiba-tiba berdetak lebih kencang. Pertama karena sudah lama sekali aku tidak mendengar suara menakjubkan panggilan sholat ini. Kedua, sosok itu sangat aku kenal. Meski dulu tidak setinggi dan segagah itu, tapi aku yakin, itu adalah Eja, teman kecilku dulu.
Selesai sholat, aku segera mencari-cari Eja. Ternyata ia sedang asyik ngobrol sama ayah, ibu, dan bunda Rima. Aku sedikit berlari-lari kecil, tak sabar ingin menyapanya.
“Ejaa.. Bunda Rima.. Waahh kangennya.” Aku segera memeluk Bunda Rima.
“Subhanallah Salma, kamu udah gede begini. Meni geulis pisan. Aduh Bunda itu udah kangen banget sama kamu. Tanya deh sama Ibu, tiap kali kerumah pasti nanyainnya kabar kamu terus. Apa kabarnya sayang?” Tanya wanita yang sangat ramah itu.
“Alhamdulillah baik Bunda. Salma juga kangen banget ngobrol-ngobrol banyak lagi sama Bunda Rima.” Jawabku.
“Iyah nanti kita jalan-jalan bareng deh yah, kalo kamu udah ilang capeknya.” Aku mengangguk. Eja hanya tersenyum melihat kami berdua.
“Hey Pak Dokter. Apa kabar kamu?” Tanyaku pada Eja. Aku tidak menjabat tangannya, karena aku sadar, ia sengaja memasukan kedua tangannya kedalam saku celananya. Suara adzan yang dikumandangkannya, peci di atas kepalanya, dan matanya yang berusaha tidak menatap wajahku, aku rasa sudah cukup menjadi isyarat tentang perubahan hidupnya selama 10 tahun terakhir ini.
“Alhamdulillah baik Sa. Congratulation yah, denger-denger udah jadi psikolog anak sukses juga.”
“Wah masih jauh kali Ja dari sukses. Baru juga mau mulai.” Jawabku.
Tiba-tiba handphone Eja bunyi, memutuskan pembicaraan kami. Ternyata ada sms masuk. Eja minta izin untuk menghubungi temannya sebentar. Akhirnya aku ngobrol lagi dengan Ibu dan Bunda Rima, sambil menunggu Eja selesai bicara dengan temannya. Tak lama ia menghampiri kami.
“Bunda, Ibu, Ayah, maaf banget, tapi Eja harus pamit sekarang. Tadi memang rencananya cuma mau mengantar Bunda sebentar, sekalian ketemu Salma. Kebetulan sudah ada janji sama beberapa teman untuk menghadiri pengajian di Masjid Al-Azhar. Insya Allah nanti Reza main-main lagi ke sini.” Setelah pamit, Eja pun pergi meninggalkan acara.
Akhirnya tamu-tamu satu demi satu pulang. Malam yang cukup melelahkan. Setelah ngobrol sebentar dengan Ayah Ibu, aku segera masuk ke kamar. Sebelum tidur, aku memikirkan pertemuan tadi dengan Bunda Rima dan Eja. Mengagumkan, 10 tahun bisa membuat seseorang berubah sedemikian rupa. Eja yang dulu selalu banyak bicara, sekarang lebih banyak diam. Yang tadinya sangat memikirkan penampilan luar, sekarang sungguh luar biasa sederhananya. Sebuah perubahan yang menakjubkan.
Aku tentu saja senang melihat keadaan sahabat kecilku itu. Seorang dokter muda yang cerdas. Anak yang sangat menyayangi dan menjaga bundanya, terutama setelah sang ayah meninggal. Dan, dari cerita ibu tadi, Eja semakin tekun mempelajari agama. Sebagai temannya, tentu aku juga ikut merasa bangga.
Tapi ada satu hal yang mengganjal di hatiku. Eja seperti jadi orang asing. Tidak seperti dulu, sekarang ia sangat menjaga jarak dalam berbicara padaku. Padahal aku kangen mendengar cerita-cerita tentang hidupnya. Aku kangen berdiskusi tentang berbagai hal lagi. Selama aku di Boston, aku selalu semangat mengikuti perkembangan Eja dari cerita Ibu. Tapi mungkin itu hanya perasaanku. Mungkin tadi karena baru bertemu sebentar saja.
Bersambung yah... soalnya panjang.. kasian bacanya nanti

Jakarta, November 2006
Mengecewakan. Jakarta sepi. Bosan. Semua orang sibuk mengurusi hidup masing-masing. Kemarin ketemu Mila dan Tasya. Tapi mereka sudah sangat berubah. Atau aku yang berubah? Yang jelas pembicaraan kami sudah beda. Mereka sibuk mendiskusikan masalah anak sakit, pembantu yang gak betah, suami yang pulang malam. Aku sendiri belum masuk ke dunia itu. Jadi bingung juga gimana nanggepinnya.
Yah memang pada akhirnya kita gak bisa mengharap bahagia dari orang lain. Sebentar lagi juga aku akan sibuk ngurusin dunia kerjaku yang baru. Jadi ragu, apa memang benar ada yang namanya ‘teman sejati’?
Aku meraih handphone ku.
Ja, apa kabar? Bosen nih, gak ada hiburan. Ja pengajian kamu di mana sih? Aku pengen belajar juga dong. Udah tambah tua nih, masih juga sibuk ngurusin dunia. Malu, kalah sama kamu.
Sent.
Seminggu ini aku semakin banyak dengar cerita tentang Eja dari Ibu. Ternyata, meninggalnya Ayah Yudi memang jadi titik awal buat Eja, memulai perjalanan spiritualnya. Seminggu ini aku pun sibuk membandingkan jalan hidupku dan Eja. Apa yang sudah aku dapat selama 10 tahun ini? Hanya sibuk mengejar impian-impianku sendiri. Tapi bagaimana hubunganku dengan Tuhan, yang sudah menganugrahkan semua nikmat ini? Lucunya, kenapa tiba-tiba aku jadi sibuk memikirkan Tuhan dan agama?
Handphone ku bergetar. Pasti balasan dari Eja.
Assalamu’alaikum Sa. Sorry aku lagi di Semarang. Baru balik sebulan lagi. Kamu bosen yah? Ya udah gimana kalo aku kenalin sama temenku. Namanya Aisya. Mungkin dia bisa ngajak kamu ke pengajiannya kapan-kapan. Sekalian ngisi waktu sebelum mulai praktek kan. Ini no nya...
***
Siang itu Jakarta panas bukan main. Sudah 20 menit aku duduk di restaurant itu sambil menikmati segelas lemon tea. Aku sedang menunggu Aisya. Seperti bukan aku yang biasanya, mau asal kenal sama orang asing, tanpa ada Eja yang lebih mengenal perempuan ini. Tapi mungkin karena aku sudah terlalu bosan, tidak ada teman ngobrol selama di Jakarta. Lagi pula kurang tepat juga kalo disebut ‘orang asing’. Dia kan temannya Eja. Dan Eja sahabatku.
“Assalamu’alaikum, Salma yah? Ya ampun maaf yah jadi bikin nunggu lama. Tadi sholat Dzuhur dulu di Musholah bawah. Oh ini yang suka Eja ceritain. Aduh cantiknya.” Tiba-tiba seorang perempuan berjilbab panjang sudah berdiri didepanku, dan menyapa dengan cerianya.
“Wa’alaikumsalam. Aisya yah? It’s okay, aku juga baru dateng kok.” Aku segera menjabat tangannya.
Cantik dan sangat ramah. Itu kesan pertama yang aku dapat. Pakaian muslimahnya semakin jelas menunjukan keanggunan perempuan ini. Aku lega, Eja sudah mengatur supaya aku bisa bertemu dengan Aisya.
“Gimana kesan-kesannya balik ke Jakarta lagi? Pasti pusing yah, ngadepin jalanan macet, polusi, sampe berita-berita politik dan ekonomi yang gak ada abisnya?” Aisya memulai percakapan.
“Hmm iyah agak sedikit harus adaptasi lagi. Tapi seneng kok, gimana juga Jakarta tetep rumahku. Aisya sekarang sibuk apa?”
“Aku baru mulai praktek di salah satu rumah sakit bersalin. Jadi baru adaptasi juga. Kata Eja, kamu juga akan mulai praktek di pusat penanganan anak autis yah? Wah menariknya.” Aku tersenyum.
“Sepertinya Eja udah cerita banyak yah tentang aku. Padahal aku juga belum sempet ngobrol banyak sama Eja lagi loh. Dia pasti tau berita-beritaku dari Bunda Rima atau ibuku.”
“Iyah dia sedikit cerita tentang kamu melalui email kemarin. Ternyata kalian tuh teman dari kecil yah. Sampe orang tuanya ajah udah saling kenal. Pasti seneng dong akhirnya ketemu lagi.”
“Justru kita kenal karena dulu Ayahku sama Ayahnya Eja praktek di rumah sakit yang sama. Seneng pastinya bisa ketemu lagi. Tapi baru ketemu sekali kok waktu buka puasa kemarin. Itu pun gak lama. Eja kayaknya langsung sibuk banget yah. Susah sih udah jadi Pak Dokter. Kamu kenal Eja di mana Sya?”
“Kita dulu sama-sama di Rohis waktu SMA. Terus kebetulan sama-sama masuk kedokteran juga. Denger-denger kamu tertarik ikut pengajian di rumahku?”
“Iyah, udah lama gak belajar agama. Semenjak di Boston, malah cuma sibuk ngurus kuliah.”
Aisya benar-benar teman yang menyenangkan buat diajak bicara. Sudah jelas, selain anggun, ia juga sangat cerdas. Pengetahuannya luas. Jarang ada seorang perempuan yang sangat mengikuti perkembangan dunia seperti Aisya. Selain itu pengetahuannya tentang Islam pun sangat dalam. Ia menjawab setiap pertanyaanku dengan jelas tapi tidak menggurui. Pelan-pelan tapi pasti aku semakin tertarik untuk mengikuti langkahnya, membina hubungan yang penuh makna dengan Allah Sang Pencipta.
Lucunya, dia selalu semangat membicarakan Eja. Sibuk bercerita tentang Eja sebagai seorang dokter, ketua Rohis, atau ketua senat. Intinya ia banyak menceritakan Eja yang belum pernah aku kenal. Aku kagum sendiri. Tapi juga agak sedih, karena sepertinya dunia aku dan Eja sudah benar-benar berbeda.
Aisya kadang bertanya pendapatku tentang Eja. Kenapa yah? Sepertinya dia semangat sekali. Mungkin perempuan anggun ini menaruh hati pada sahabat kecilku itu. Dan mungkin juga sebaliknya. Kalo dilihat kasat mata, memang mereka sangat serasi. Keduanya sama-sama dokter muda yang penuh potensi. Dalam masalah iman, mereka seperti sudah melangkah di jalan yang sama. Aisya juga perempuan yang sangat lembut dan baik hati. Aku ikut senang jika ternyata perasaanku benar.
Tapi benarkah aku ikut bahagia?
***
Sebulan ini aku banyak menghabiskan waktu dengan Aisya. Aku mulai rajin datang ke pengajian mingguannya. Bertemu dengan teman-teman Aisya yang lain. Perempuan-perempuan yang sangat istimewa. Kebanyakan dari mereka adalah teman kampus Aisya. Jadi rata-rata adalah dokter-dokter muda. Semuanya wanita yang cerdas dan mandiri. Tapi baru kali ini aku bertemu dengan wanita-wanita intelektual yang tujuannya satu, meraih Ridho Illahi. Sungguh, baru kali ini aku masuki dunia yang penuh dengan damai dan indahnya nuansa islami. Sepertinya aku jatuh cinta pada lingkungan ini.
Selangkah-demi selangkah aku coba menjelajahi Islam lebih jauh. Memperbaiki hubunganku dengan Sang Penggenggam Hati. Sunggu baru aku temukan berbagai keindahan agama yang sudah sejak lahir aku anut ini. Aisya dan teman-temannya selalu siap membantuku dalam belajar. Mereka menuntunku untuk lebih jauh mengenal Allah, Rasulullah dan Sunahnya.
Cintaku pada Rasulullah mulai merekah. Aku coba selami lebih jauh hidupnya. Air mata kagum dan haru menemani malamku saat menyusuri Sirah Nabawiyah. Aku kagum akan kesetiaan Siti Khadijah. Terpesona dengan kecerdasan Aisyah R.A. Menangis pilu membayangkan sabar dan teguhnya Khalid, Umar, dan Ali yang berjuang menegakkan Islam. Ikut bergetar membayangkan Adzan yang terlantun dari bibir Bilal. Ada sedikit sesal, mengapa baru sekarang aku mengenal mereka. Setelah hampir kulewati setengah hidup ini.
3:15 am, Sepertiga Malam Hari
Dalam sunyi hamba datang menghadapMu Illahi. Disaksikan gelapnya malam dan bintang-bintang. Aku bersujud memohon ampunan. Jangan lagi Kau tutup mata hati ini. Ya Rahman, Aku rindu padaMu.
Sesungguhnya kamu tidak akan dapat memberi petunjuk kepada orang yang kamu kasihi, tetapi Allah memberi petunjuk kepada orang yang dikehendaki-Nya, dan Allah lebih mengetahui orang-orang yang mau menerima petunjuk. (QS. 28:56)
Sejenak kutatap baju muslimah baru lengkap dengan jilbab putih yang sudah tergantung di pintu lemariku. Aku tersenyum. Tidak sabar menunggu untuk mengenakannya dan memulai langkahku yang baru.
***
“Salma, aku punya berita baik.” Kata Aisya di telpon siang itu.
“Wah ada apa nih Sya?” Tanyaku penasaran.
“Insya Allah dua minggu lagi aku sudah menjadi istri seseorang.”
“Alhamdulillah. Kok baru bilang sekarang? Siapa calonnya itu Sya?” Aku agak sedikit kaget.
“Memang belum lama juga kok Ma keputusannya. Nanti aku kasih tau lengkapnya yah. Sekarang masih harus menerima pasien. Assalamu’alaikum.”
“Wa’alaikumsalam”
Aku terdiam dalam tanya. Siapakah lelaki beruntung itu? Hanya ada satu nama yang muncul, Eja. Ternyata tebakkanku dulu tidak salah. Aku akan senang sekali jika ternyata pikiranku benar.
Tapi, benarkah aku ikut bahagia?

Bapak2 ibu2... bersambung lagi yah...



Bagian awalnya ada di postingan sebelumnya...
Lagi-lagi, siang itu Jakarta panas bukan main. Aku duduk menunggu Aisya dalam banyak tanya. Entah kenapa aku begitu yakin bahwa lelaki itu adalah Eja. Tanda-tandanya sudah jelas, Aisya sering sekali membicarakan kehidupan Eja padaku. Tapi apa artinya rasa gelisah di hati ini? Kenapa aku merasa sedih? Padahal Eja adalah teman kecilku dan Aisya sudah menjadi sahabatku. Mereka adalah pasangan yang sangat serasi dimataku. Tapi kenapa aku merasa tidak setuju? Mungkinkah aku cemburu?
“Assalamu’alaikum Salma. Maaf nunggu lama yah, tadi pasien terakhir telat datengnya.”
“Wa’alaikumsalam Sya. Ngga kok. Aduh calon pengantin, ngagetin ajah beritanya. Who’s the lucky guy Sya?” Tanyaku penasaran.
“Sabar dulu dong Salma sayang. Belum juga duduk, hehe. Belum juga sempet muji, kamu kelihatan kayak bidadari surga dengan jilbab itu.”
“Alhamdulillah, makasih Sya. Ayo sekarang cerita semuanya.” Aku semakin tidak sabar.
“Namanya Muhammad Iqbal.” Ya Allah, dugaanku salah. Seperti ada tetes-tetes embun pagi yang menyejukan hati.
“Kenal dimana Sya?”
“Dia sahabatnya Reza. Tadinya, aku sendiri cuma kenal dari cerita-cerita orang. Seperti juga aku tau tentang kehidupan Reza. Tapi sebulan yang lalu, kakak perempuannya, yang juga senior ku di kampus dulu, menghubungiku. Akhirnya kami memutuskan untuk menjalani proses Ta’aruf. Selanjutnya yah orangtuanya datang kerumah untuk melamar.”
“Wah i’m so happy for you sis. Jadi kamu sebenernya gak kenal deket sama Eja?”
“Ngga lah. Cuma tau gitu-gitu ajah. Dan denger cerita-cerita dari orang. Sampe waktu itu dia menghubungiku supaya berkenalan dengan kamu. Dia juga tau aku dari Iqbal.” Aku sempat diam tak bisa berkata apa-apa.
“Jadi gimana nih? Ibu psikolog kira-kira kapan?”
“Kapan apanya?” Tanyaku sambil tersenyum.
“Yah kapan mau ngelepasin ‘single status’nya?”
“Wah kapan yah? Belom kepikiran Sya. Ngurus hidup sendiri ajah baru mulai. Masih banyak yang mau di urus dulu.” Jawabku seadanya.
“Hmm yah harus mulai di pikir dikit-dikit lah Salma sayang. Lagian apa lagi sih yang mau dikejar? Kan enakan kalo ngurusin hidupnya berdua. Bareng-bareng berjuang di jalannya Allah.”
“Aduh jadi luluh hatiku Sya, hihi. Yah sekarang sih ikutin rencananya Allah ajah deh.”
“Emang kamu nunggu yang kayak gimana?”
“Yang bisa ngasih alasan terbaik kenapa mau jadi imamku. Dulu di Boston ada beberapa yang menyampaikan niat baiknya untuk menikahiku. Tapi ketika aku tanya alasannya, semua jawabannya gak ada yang meyakinkan.”
***
Menikah? Satu kata yang jarang sekali ada di pikiranku sampai sekarang. Selama ini hidupku sudah cukup padat dengan kuliah, mengajar, dan praktek. Jangankan memikirkan masalah menikah, selama ini saja aku selalu merasa tidak punya waktu untuk memikirkan cinta monyet. Untukku semua harus tersusun dengan rapih. Bahkan rencana hidup. Sampai saat ini, menikah belum ada dalam jadwal hidupku. Tapi mungkinkah sudah saatnya aku memasukan ‘langkah besar’ itu dalam agendaku?
Waktu menunjukan sepertiga malam sudah datang. Aku bangkit untuk berwudhu. Dalam kebingungan, cuma ada satu cara yang terbaik, sujud mohon petunjuk pada Sang Raja Alam.
***
“Assalamu’alaikum Sa. Ayah kamu ada?”
“Wa’alaikumsalam. Loh kamu udah pulang Ja? Ayah? Tumben nyariinnya ayah. Ada di ruang baca Ja. Langsung masuk aja.” Aku bingung. Eja tiba-tiba datang setelah lebih dari sebulan aku belum bertemu lagi. Terakhir waktu buka puasa dulu.
Aku menunggu di kamar. Menunggu percakapan mereka selesai. Tapi hampir satu jam mereka belum juga terdengar suaranya. Tanpa sadar aku tertidur.
***
Sayup-sayup terdengar suara orang berbisik-bisik. Aku terbangun, di kananku sudah ada ibu. Di kiriku ada ayah.
“Sayang, kamu belum Isya kan?” Tanya ibu.
Aku menggeleng sambil buru-buru bangkit. Ketika aku sholat, ayah dan ibu tetap tidak beranjak dari tempat tidurku. Setelah selesai ayah memanggilku,
“Sini Princess. Ada yang mau ayah tanya.”
“Ada apa yah?” Tanyaku bingung melihat wajah ayah yang agak sedikit serius.
“What’s your big plan this year sweetheart?”
“Hmm yah mulai praktek yah. Sambil nyelesain buku. Syukur-syukur bisa diterbitkan taun ini.”
“Kalo menikah?”
“Hah? Menikah? Sejauh ini belum kepikir. Lagian kalo pun mau, sama siapa? Hehe emang ayah udah punya calonnya?” Kataku sambil bercanda.
“Udah sayang.” Aku semakin bingung. Ibu tersenyum sambil mengedipkan sebelah matanya.
“Siapa yah? Loh ini ada apa sih? Kok tengah malem tiba-tiba ngagetin.”
“Kalo sama Reza gimana? Tadi dia datang itu yah mau menyampaikan niat baiknya. Lucu juga, ternyata kata-katanya waktu umur 7 tahun untuk mengambil kamu dari Ayah, diutarakan lagi 23 tahun kemudian. Dulu sih cuma ayah godain. Ayah suruh pulang lagi. Ayah bilang dia belum jadi jagoan buat ngelindungin tuan putrinya ayah. Tapi kalo sekarang, mana mungkin ayah suruh pulang dengan tangan kosong. Kamu bisa lihat sendiri dia sudah jadi lelaki dewasa, dokter muda berpotensi, dan yang paling utama dari segala-galanya, ia datang dengan berbekal iman dan niat untuk lebih memuliakanmu dihadapan Illahi. Sekarang tinggal ayah tanya deh sama Salma. Gimana?”
Setelah itu aku benar-benar diam. Semakin bingung dengan apa yang telah terjadi. Eja? Ngelamar?
“Hmm i think i need sometimes to think Yah. Sekarang masih gak bisa jawab apa-apa. Terlalu tiba-tiba.”
“Iyah boleh. Kamu pikirkan dulu baik-baik yah sayang” Setelah mencium keningku, ayah dan ibu pun pergi meninggalkan aku sendiri.
Duniaku seperti sedikit tergoncang. Aku masih sedikit tidak percaya dengan apa yang baru ayah katakan. Kenapa aku? Bukankah Eja harusnya memilih wanita yang jauh lebih shalihah. Lebih banyak pengetahuan islamnya. Lagipula dia pasti tidak banyak tahu aku yang sekarang. Memang dia teman kecilku. Tapi itu sudah lebih dari 10 tahun yang lalu. Sudah banyak yang berubah, baik di duniaku maupun di dunianya.
Sejuta pertimbangan langsung menyerang bertubi-tubi. Dititik ini aku baru saja akan memulai perjalanan karirku. Jika aku putuskan menikah, berarti agenda hidupku harus di rombak ulang. Tapi, sebegitu sombongnyakah diri ini ingin mengambil alih dalam mengatur takdir Illahi Rabbi? Astaghfirullah. Kemana harus kulangkahkan kaki ini?
Eja? Kenapa tiba-tiba? Setelah aku sempat menyangka bahwa namaku sudah tidak tertulis lagi dalam daftar hidupnya. Setelah aku mengira ia tak perduli lagi untuk mengikuti perkembangan hidupku. Bukankah bahkan selama sepuluh tahun aku di Bosto, sangat jarang ia menghubungiku? Bahkan sebulan aku di Jakarta, hanya dua kali aku bertemu muka, keduanya tidak lebih dari 15 menit. Aku sedikit ragu. Apa alasannya dibalik niat mulia ini? Apa alasannya?
Tiba-tiba handphone ku bergetar. Ada sms masuk.
Istikharah yah Sa. –Eja-
Air mataku segera menetes, tak mampu terbendung lagi.
***
Dua minggu sesudahnya aku lebih banyak berkomunikasi dengan Eja. Hanya melalui e-mail karena Eja sedang berada di semarang. Ia banyak menanyakan rencanaku kedepan, begitupun sebaliknya.
Kenapa kamu ingin menikahi aku, Ja? Kan kamu sama sekali belum tahu aku yang sekarang. Sepuluh tahun waktu yang cukup lama loh Ja untuk merubah pribadi seseorang.
Siapa bilang aku gak tahu kamu yang sekarang? 10 tahun, aku selalu mengikuti perkembangan hidup kamu. Melalui Bunda. Melalui Ibu kamu. Aku tahu ada 5 jaitan di tangan kamu karena kecelakan mobil 8 taun yang lalu. Kamu lulus dengan 3.85 GPA. Dosen pembimbing desertation kamu sudah menerbitkan berpuluh-puluh buku tentang psikologi anak. Dan ‘menikah’ belum ada di agenda hidup kamu.
Aku mengenalkan Aisya pada kamu bukan tanpa alasan. Aku minta pada Aisya untuk mengutarakan pendapatnya tentang aku, supaya kamu lebih tau tentang aku yang sekarang. Memang dia juga tidak terlalu mengenal aku. Tapi rasanya ia pasti punya sedikit gambaran mengingat kita sudah satu sekolah untuk waktu yang cukup lama. Biar kamu bisa melihat aku dari pandangan orang lain. Supaya lebih objective.

Aku ingin calon istri yang mencintai Allah lebih dari apapun juga. Karena itu aku ingin kamu berkesempatan untuk mengenal Allah lebih jauh, dibantu oleh Aisya. Kalau saja usahaku gagal, niat untuk menikahi kamu pun akan aku berhentikan. Tapi ternyata Allah menempatkan hidayah itu di hati kamu Sa.
Dari ibu dan Aisya, aku dengar Salma yang sekarang selalu menunaikan sholat 5 waktu. Salma yang setiap malam terbangun untuk melaksanakan Tahajud. Salma yang sudah menjaga auratnya dari yang bukan muhrimnya. Salma yang menangis tersedu-sedu ketika mendengar surat Ar-Rahman dibacakan.
Aku ingin menikahimu karena Allah.
Pipiku terasa basah. Dari bibirku terucap ‘Bismillah’. Ya Allah beri hamba kekuatan untuk melangkah.
***
Sekarang aku percaya ‘sahabat sejati’ itu ada. Aisya benar, merancang hidup dan beribadah terasa lebih bermakna saat ada seseorang yang mendampingi.
Kadang aku bertanya, “Ja kenapa kamu mencintaiku?”.
Jawaban dari bibirnya pun selalu sama,
uhibbukum filLaahi (aku cinta kepadamu karena Allah)

Tidak ada komentar: